Gadis kecil tertidur di bawah pohon, berbantal daun kering, berselimut ranting. Percikan air mata sisa musim tahun lalu masih melekat di pipinya, hujan dan angin tak mampu menghapusnya.
Masih teringat di musim kemarau, matahari menitahkan ia melepas kepergian ayahnya untuk memenuhi sebuah harap bahwa pada suatu waktu serambi tempatnya memintal masa depan tidak akan gelap lagi.
Hari-hari ia lalui dalam hening, percik air di pematang dan kicau burung adalah sahabatnya bercanda. Tanaman padi di sawah dan sayur hijau di ladang yang dititipkan mulai berkembang.
Kepada mentari sebelum panas mengingkari, Â ia tanyakan kapan janji ayahnya memberi arti. Kepada malam setelah matahari meninggalkan, ia selalu menguntai doa, semoga ayahnya bisa berdamai dengan segala uji yang memeluknya.
Gadis kecil lugu masih berdiri di antara tanaman perdu hatinya layu menunggu rindu berlagu kidung merdu seperti dulu. Â
Blitar, 17 April 2020
Enik Rusmiati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H