Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru - Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Novel "Tahun tanpa Tuhan", Refleksi Masyarakat Milenial

5 Oktober 2019   12:27 Diperbarui: 5 Oktober 2019   12:41 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah membaca novel "Tahun Tanpa Tuhan", saya merasa sangat tersindir, rasanya seperti ditelanjangi oleh Sanghyang Mughni Pancaniti atas seluruh perilaku saya dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan cara saya beribadah kepada Tuhan yang maha memberi nikmat, maha mengampuni dosa-dosa. Namun ternyata, berkali-kali saya mengkhianatinya, seringkali masih berselingkuh dengan makhluk dan harta benda ciptaan-Nya.

Sanghyang Mughni Pancaniti, melalui novelnya ini, menguraikan dengan jelas tingkah laku umat manusia zaman milenial ini, yang banyak diperbudak oleh kesenangan duniawi. Telah menomorduakan Tuhan dengan segala urusan duniawi. Telah menjadikan Tuhan sebagai tambel butuh atau hanya menghadirkan Tuhan ketika kita benar-benar membutuhkan. Namun kita akan mudah melupakan ketika apa yang kita inginkan itu terwujud. Bahkan kita justru gampang sekali melupakan siapa yang telah memberi kenikmatan tersebut.

Mata hati kita akan dibukakan oleh kisah yang diungkap oleh pengarang tentang umat manusia yang selalu berjanji akan keesaan Tuhan dan berjanji akan selalu berada di jalan-Nya, namun dalam menjalankan tugas sehari-hari justru  sering menuhankan pekerjaan, harta benda bahkan orang-orang yang kita cintai.

Kita lebih takut kehilangan cinta dari seorang kekasih daripada kehilangan cinta dari Tuhan. Kita lebih takut  dimarahi pimpinan kita darpada mendapat azab Tuhan. Lebih menyayangi harta benda kita daripada memperoleh kasih dari Tuhan.

Diceritakan dalam novel tersebut,  Maula seorang mahasiswa  yang aktif di kampus  sangat mencintai gadis pujaanya Salma, yang juga aktivis perhimpunan gerakan mahasiswa di kampus yang sama dengan Maula. Karena cintanya ia sampai lupa dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang hamba Tuhan. Karena cintanya ia lebih memuja gadis pujaannya daripada memuja dan melaksanaka puji-pujian kepada Tuhanya. Salma telah merebut hati Maulana dari Tuhanya. Salma dan Tuhan benar-benar telah bersaing dalam diri Maula. Keindahan Tuhan dan keindaham Salma terus bertanding memperebutkannya.

Ketika mengenal Salma, berdekatan dan jatuh cinta. Maula lebih takut pada kemarahan Salma dibanding murka Tuhan. Ia merasa pedih saat ada yang melukai Salma, dibanding saat mendengar nama Tuhan diinjak-injak. Ia lebih bahagia melihat senyum Salma dibanding tawa Tuhan saat memamggil-manggil untuk bersujud di telapak kaki-Nya. Bahkan, ia lebih memilih kehilangan Tuhan, dibanding harus kehilangan Salma.
Karena cinta yang membuta itulah, akhirnya Maula harus terjebak dalam "Rengginang dalam Kaleng Biskuit". Ternyata apa yang tampak indah di mata Maula harus berakhir dengan kepalsuan. 

Gadis yang dipujanya ternyata telah berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Salma yang cerdas dan sangat luas ilmu pengetahuan agamanya, ternyata telah membohonginya, telah melukai hati Maula dengan penghianatanya. Maula benar-benar telah tertipu oleh gemerlap keindahan dunia (kecantikan dan kecerdasan Salma).

Kisah dalam novel ini, memberi pesan pada kita, agar jangan terlalu mencintai keindahan dunia, karena tujuan akhir manusia adalah akhirat. Dunia itu sebagai sesuatu yang mudah hilang, lenyap, dan musnah. Dunia adalah sesuatu yang kurang, tidak sempurna dan hina. Dunia itu hanyalah tempat kesedihan, kesusahan dan kesengsaraan.

Orang yang mengejar dunia akan merasakan kecemasan, keresahan dan kesedihan. Seperti Maula yang mengejar Salma, akhirnya tertipu seperti  "Rengginang dalam Kaleng Biskuit". Tampak indah dari luar namun ternyata dalamnya tidak seindah penampilanya. Karena keindahan dunia ini adalah fana.

Seperti yang disampaikan oleh ulama besar, Quraish Shihab, kebodohan adalah sumber musibah, sedangkan sumber dosa salah satunya adalah cinta dunia yang berlebihan.


Blitar, 5 Oktober 2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun