Maafkan aku dhe, karena akulah yang mengajakmu menyusuri lembah dan sungai menuju samudera luas. Aku yang mengajakmu memainkan harpa di atas bukit, aku juga yang memintamu menuliskan sajak tentang kita.
Namun dhe, dalam permaianan ini, peranku terhadang oleh perdu liar, aku terjebak dalam lingkaran semak dengan akar yang menjuntai, mengikat kuat tangan dan kakiku, bahkan kedua bola mataku kadang tertutup oleh dedauan yang mengibas ke arah wajahku.
Aku benar-benar tak bisa melepaskan kukuhnya ikatan ini dhe, semakin kuat aku mengurainya, semakin kuat cengkeraman ini melilitku.
Aku tahu, kau sangat ingin menjemputku dari deraan ini, namun aku memohon kepadamu jangan kau libatkan ragamu untukku, karena itu akan sangat melukaiku. Sungguh duri-duri perdu ini sangat perih untuk kelembutan hati dan jiwamu.
Aku juga tahu dhe, kalau hatimu saat ini terluka dengan permainanku ini. Aku juga tahu kalau saat ini kecewamu menguasai seluruh isi dadamu. Namun kesabaran dan keihalasan yang tumbuh di hatimu telah meredakan besarnya gelisahmu.
Saat ini, apakah dengan maaf bisa menghiburmu dhe. Meski tidak yakin, aku tetap memohonkan maaf ini, aku hanya ingin hatimu berwarna seperti aku mengenalmu dulu.
Maafkan aku dhe, aku selalu ingin menangkap kerling senyummu kala aku bangun dari tidurku.
Blitar, 4 Mei 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H