Sebagai seorang pemuda keturunan etnis Tionghoa/Cina, saya adalah generasi keempat yang lahir di Indonesia. Dan saya ingin berterima kasih, untuk KEPPRES tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera, sebagai bagian dari kebijakan Presiden SBY, yang adalah seorang pemimpin Indonesia yang majemuk. Setelah membaca isi KEPPRES tersebut, saya sangat setuju dengan manfaat dari poin tentang menjaga hubungan baik bilateral dua negara yaitu RRT dengan Indonesia.
Beberapa poin utama dari KEPPRES tersebut juga sangat mempertegas eksistensi keberadaan saya, terutama tentang psikososial-diskriminatif, semakin memperjelas bahwa saya bukan orang Cina lagi, tetapi sekarang saya adalah orang Tionghoa.
Meskipun setiap kali mengurus administrasi untuk suatu keperluan, saya mengaku bahwa saya adalah orang Indonesia. Sejak kecil saya juga selalu memakai Bahasa Indonesia, di rumah, di sekolah, maupun di pergaulan sehari-hari, karena orang tua dan guru yang memakai Bahasa Indonesia untuk mengajari saya. Disamping kedua orang tua saya tidak bisa berbahasa mandarin, padahal mereka memiliki nama dan panggilan Tionghoa/Cina. Sedangkan sejak lahir, saya diberi nama lengkap yang diambil dari bahasa latin dan Indonesia, jadi saya tidak memiliki nama panggilan Tionghoa/Cina.
Sebagai seorang pemuda keturunan Tionghoa/Cina yang juga “Ceplas-Ceplos”, saya dan beberapa kawan saya yang bukan keturunan Tionghoa, sering bertukar pikiran tentang stereotype etnis/kesukuan yang ada di keluarga kami masing-masing. Sampai di suatu kesimpulan, bahwa berbagai stereotype itu sudah tidak ditemui lagi di lingkungan pergaulan kami, di kampus dan komunitas kami yang lain.
Akhirnya kami sering menggunakan perkara stereotype itu untuk bahan bercanda. Seperti waktu saya sedang berbelanja di suatu tempat yang bisa melakukan transaksi tawar-menawar, biasanya saya menawar harga barang yang diinginkan dengan sangat rendah, lalu saya dikatain, “Dasar Cina Lo!” dengan nada bercanda oleh kawan saya yang bukan Tionghoa/Cina.
Atau waktu saya kepepet harus pinjam uang kepada kawan saya yang orang Batak, dia bercanda dengan mengatakan akan memberikan bunga pinjaman, lalu saya membalasnya dengan mengatakan, “Dasar rentenir lo!”.
Kadang saya melakukan hal itu juga kepada kawan saya yang keturunan Tionghoa/Cina yang memiliki bisnis Online Shop, kalau dia memberikan harga terlalu mahal, saya juga akan mengatakan, “Dasar Cina Lo!”. Dan kawan saya itu membalas, “Perlu gue ambilin kaca?”
Di usia kanak-kanak, saya tidak bisa membedakan mana orang Jawa, mana orang Sunda, atau mana orang Batak. Semuanya masih terlihat sama, apalagi saya dan keluarga memiliki sahabat dan kerabat dekat yang justru bukan orang dari keturunan Tionghoa, karena lingkungan tempat tinggal saya kecil dekat dengan perumahan tentara. Rekan kerja dari kedua orang tua saya juga lebih banyak orang Sunda dan Jawa.
Dari saya SD sampai saya melanjutkan pendidikan S2, saya bertemu dengan banyak kawan yang memiliki latar belakang berbeda, dan berasal dari berbagai daerah.
Semakin banyak perbedaan, semakin luas wawasan saya dalam pergaulan, semakin mudah saya belajar toleransi, dan semakin mudah saya belajar untuk tidak tersinggung.
Pernah suatu ketika, saya naik angkutan kota dan saat itu saya sedang memakai kupluk, salah seorang ibu di dalam angkutan kota itu bertanya kepada saya dengan ramah,
“Dek, ada keturunan Chinese-nya yah?”, lalu saya jawab juga dengan ramah, “Iya Bu”. Dan saya balas bertanya iseng, “Kok tau Bu?”, si Ibu menjawab, “Dikira bukan orang Chinese, abis naik angkot terus pake kupluk.”
Ternyata Si Ibu senang bertanya, berikutnya dia bertanya tentang kupluk saya, yang menurutnya bagus, dia ingin membelikan untuk anaknya juga, “Kupluknya bagus, beli dimana dek?”, dan obrolan itu berlanjut.
Si Ibu menutup obrolan di dalam angkutan kota itu dengan pernyataan yang membuat saya tersipu-sipu, bahwa dia senang ngobrol dengan orang Cina, apa lagi dia jarang melihat seorang pemuda bermata sipit, berkulit putih seperti saya, naik angkutan umum, dan memakai kupluk, serta bisa diajak ngobrol. Biasa dia ngobrol sama enci-enci yang punya toko dekat rumahnya, yang tidak kalah ramah, katanya.
Seandainya KEPPRES tanggal 12 Maret itu bisa keluar lebih awal, mungkin saya bisa berkata ke si Ibu yang di dalam angkutan itu, “Maaf Bu, Anda sudah melakukan tindak PSIKOSOSIAL-DISKRIMINATIF!”, saya tidak perlu membuang waktu untuk beramah tamah karena si Ibu menyebut saya Chinese.
Mungkin saya juga tidak akan mengatakan kepada kawan saya yang memiliki Online Shop itu, “Dasar Cina Lo!”, tetapi saya akan mengatakan kepada dia, “Dasar Tionghoa Lo!”. Karena terdengar lebih sopan.
Dan saya bisa mengajak beberapa kawan untuk men-somasi Stand Up Comedian Ernest Prakasa, karena sudah melecehkan komunitasnya sendiri, dengan tema event yang dia buat “ILLUCINATI”, karena seharusnya “ILLUTIONGHOATI”.
Seorang Farhat Abbas juga tidak perlu dilaporkan, jika seandainya dia menggunakan kata Tionghoa, saat menghina Wakil Gubernur DKI Basuki TP (Pak Ahok) di media sosial.
Sekali lagi saya hanya ingin mengucapkan terima kasih, karena KEPPRES itu sudah mempertegas “Eksistensi Kelompok Saya”.
Dulu saya Cina, Sekarang saya Tionghoa.
Semoga setelah KEPPRES tentang penggantian kata Cina/China/Tjina menjadi Tionghoa ini, Bapak Presiden SBY segera mengeluarkan KEPPRES tentang Kemudahan Pembangunan Tempat Ibadah, tentang Kebebasan Beragama, tentang Penanggulangan Bencana Alam, tentang Kewajiban-kewajiban Badan Usaha, tentang Pengolahan Limbah, tentang Hak-hak Tenaga Kerja Honorer, tentang Hak-hak Buruh, tentang Pembatasaan Penggunaan Kendaraan import, tentang Peraturan Lingkungan untuk menghindari kebakaran hutan, dan lain-lain.
[Djoel]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H