Mohon tunggu...
Djoel
Djoel Mohon Tunggu... wiraswasta -

Bekas mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ya Ampun, Pak SBY Menulis Surat Terbuka Pakai Tulisan Tangan

11 April 2014   00:30 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:49 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13971244711265917532

[caption id="attachment_302686" align="aligncenter" width="480" caption="www.twitter.com/SBYudhoyono"][/caption]

Sebagai seorang anak muda yang sering terlambat mendapatkan berita dikarenakan sedang dalam misi menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa, saya sedikit kesal karena baru membaca surat terbuka dari Presiden tercinta hari ini, 10 April 2014. Padahal suratnya Pak SBY disebar di media sosial pada hari Selasa malam, 8 April 2014, Surat terbuka tersebut berisi ajakan kepada masyarakat Indonesia untuk menggunakan hak pilih dan harapan Beliau tentang pemimpin Indonesia berikutnya. Menurut saya surat terbuka Pak SBY ini penting, cuma telat dibaca… Meskipun saya sudah nyoblos, tetap dalam hati saya mengatakan, “yaaah, kok telat sih?”

(Tulisan Pak SBY: pic.twitter.com/Qsr0Czn2Pd)

Yang membuat saya lebih heran lagi, Pak SBY menuliskan suratnya memakai tulisan tangan, yang sulit untuk dibaca oleh anak muda yang tumbuh besar di tahun 1990-2000an, saya sendiri harus membacanya 2 sampai 3 kali, baru dapat mengenali jenis huruf yang dipakai oleh Beliau, dan malah jadi terkagum-kagum karenanya, “ya ampun, Pak SBY tulisannya…,” kata saya dalam hati lagi.

Lalu timbul pemikiran, sebenarnya bukan salah saya juga, karena ada pertanyaan seperti: “mengapa surat terbuka tentang pesan pemilu baru di-posting-kan di malam yang beberapa jam kemudian pemilu legislatif dilaksanakan,” dan “mengapa harus pakai tulisan tangan.” Selain itu, jenis surat terbuka bukan hal yang harus bersifat otentik, seperti mandat atau surat wasiat yang kadang harus ditulis tangan.

Ada beberapa hal yang secara pribadi ingin saya bahas dan kritisi (ngomongin) dari surat terbuka yang ditulis tangan tersebut:

1.Sebaiknya jangan ditulis tangan oleh Pak SBY;

Sudah pasti waktu adalah hal yang sangat berharga untuk seorang Presiden seperti Pak SBY, karena itu sebaiknya selalu ada bawahan yang bantu mengetik surat atau hal lainnya, contohnya seperti notulis atau sekretaris kepresidenan.

Dan untuk soal ini, saya jadi teringat dengan marahnya Pak Basuki T.P. (Ahok) di video Youtube, waktu salah seorang notulis rapat Pemda DKI yang bertugas membuat notulensi menggunakan tulisan tangan, karena menurut Beliau (Pak Ahok) hal tersebut sangat tidak efektif dan efisienuntuk ukuran kinerja dan kebutuhan yang harusnya cepat dan tangkas, ada banyak fasilitas di pemerintahan termasuk laptop dan komputer yang bisa digunakan untuk mengetik notulensi langsung.

Jadi, surat yang tidak butuh untuk ditulis secara otentik, lebih baik diketik menggunakan komputer. Tidak terbayang jika seorang yang tidak efisien bekerja sebagai notulis untuk Pak Ahok, pasti bakal sering kena marah.

2. Tulisan tangan Pak SBY sulit dibaca (bukan berarti jelek);

Seandainya saya generasi yang besar di tahun 1970-1980an mungkin saya masih dapat membaca surat tersebut dengan mudah, karena sudah terbiasa membaca tulisan tangan bersambung yang miring-miring. Masalahnya saya adalah generasi yang tumbuh besar di tahun 1990-2000an, yang terbiasa dengan tulisan cetak. Pihak kepresidenan pun menggunakan media sosial Twitter dan Facebook yang paling banyak digunakan oleh anak muda yang lahir di tahun 90an, dan mereka adalah para pemilih di Pemilu 2014.

Dengan kata lain, Pak SBY kurang tepat sasaran, tulisan tangan Beliau seharusnya diberikan kepada generasi yang terbiasa membaca tulisan tangan, karena generasi muda yang aktif di media sosial Twitter dan Facebook lebih sering membaca tulisan cetak, sehingga tulisan Pak SBY harus dibaca 2 sampai 3 kali, baru dapat mengenali huruf-huruf yang digunakan, apalagi antara huruf A, O, dan S sangat sulit dibedakan, T, I, dan J juga. Bahkan karena tulisan tangannya, Pak SBY di-bully lagi di dunia maya, dengan perkataan-perkataan seperti: “mirip resep dokter”“ga kebaca, mendingan diketik”, “mirip dosen gue”, “yes bagusan tulisan gue”, dll.

Yang  jadi pertanyaan berikutnya adalah: apakah ada anak muda yang menggunakan gadget dengan setting-an huruf tulisan bersambung atau tipe “hand writing”? sepertinya tidak ada tuh...

Sejujurnya, saya sangat menghargai orang-orang seperti Pak SBY, yang masih menggunakan tulisan tangan bersambung. Menulis seperti itu membutuhkan effort dan konsistensi… hanya saja, untuk membacanya butuh effort juga. Karena banyak dari anak muda sudah terbiasa menulis dan membaca huruf cetak, para dosen dan guru mungkin harus mengerti hal ini juga. Atau, kembali mengajari anak didiknya membaca huruf tulisan bersambung yang miring-miring dengan jenis font tertentu.

3. Pak SBY terlihat kaku dan serba salah jadinya (bukan karena isi suratnya);

Presiden harusnya memiliki otoritas dan hak penuh untuk menggunakan media informasi seperti stasiun TV dan berita untuk menyampaikan hal-hal penting, menyerukan agar rakyat aktif dan menggunakan hak pilih menurut saya itu sangat penting. Lalu, kenapa Pak SBY tidak meniru hal yang biasa dilakukan Gedung Putih (US)? yang jika mereka ingin menyampaikan hal penting untuk rakyatnya, mereka hanya perlu mengadakan konferensi pers, dan disiarkan LIVE dari Gedung Putih, oleh media-media televisi US.

Karena televisi juga sudah bukan barang mewah di Indoensia, hampir semua masyarakat prasejahtera memilikinya, dan televisi adalah media yang paling efektif untuk seorang Presiden menyampaikan pesannya secara LIVE kepada masyarakat luas. Jubir kepresidenan juga dapat membacakan surat tersebut agar Presiden tidak repot. Tetapi kenapa pihak kepresidenan tidak memanfaatkan hal tersebut?

Mungkin Pak SBY takut diisukan melakukan kampanye di hari tenangjika harus muncul di TV, tetapi memang Itulah resiko dan beratnya menjadi seorang Presiden yang juga adalah Ketum Partai Politik… sangat merepotkan, serta tidak bisa bergerak bebas (kaku). Lalu, kenapa seorang pemimpin besar sepertinya harus takut dengan opini publik?

Menurut saya, Pak SBY memang harus belajar dari orang-orang yang tidak peduli dengan opini negatif, karena cuma orang yang kelihatan serba salah yang takut dengan opini publik.

4. Surat terbuka mengenai pemilu harusnya diberikan atau disebar jauh-jauh hari sebelum hari H, 9 April 2014;

Indonesia bukan negara yang susah-susah amat, perusahaan media cetak nasional seperti koran, tabloid, dan majalah itu sangat banyak. Kenapa tidak jauh-jauh hari sebelum hari H tiba (9 April 2014) surat tersebut dibuat dan diberikan kepada masyarakat lewat media seperti koran nasional KOMPAS, atau koran-koran lokal?

Kan tinggal bayar dari dana yang ada atau mungkin gratis… Pak SBY juga dapat terhindar dari opini publik yang negatif...

Ratusan juta penduduk di Indonesia tidak semuanya menggunakan media sosial, tidak semuanya menggunakan internet atau membaca media online, tidak semuanya membaca koran setiap hari, dan tidak semuanya menonton televisi setiap hari. Jadi seharusnya surat terbuka berisi pesan pemilu dan harapan dari Pak SBY dapat di-publish seminggu atau dua minggu sebelum pemilu, supaya menyebar secara merata ke masyarakat. Hari ini juga pasti masih banyak rakyat Indonesia yang tidak tahu kalau Pak SBY tulis “surat cinta” untuk rakyatnya.

---

Sebagai penutup,

Bagi seorang pemimpin, seharusnya sudah tidak ada lagi perbedaan antara hal kecil atau hal besar, karena semua hal selalu memiliki dampak untuk pengikut atau bawahannya. Sama seperti seorang Presiden yang harus melakukan segala sesuatu secara detail, karena berdampak kepada rakyat banyak. Dan inilah pelajaran yang didapat untuk para calon pemimpin muda dari ngomongin “hal kecil” seperti surat terbuka yang ditulis tangan oleh Presiden:

1.Pemimpin harus selalu efisien dan efektif, jadi kalau tulisan tangannya sulit dibaca usahakan diketik, dan jangan lupa untuk membuat versi PDF dan JPEG-nya agar lebih mudah di-upload/publish.

2. Pemimpin jangan lamban, harus kerja cepat, sambil memikirkan semua terperinci, termasuk soal tulisan yang harus dibaca oleh orang lain. Sebaiknya hal penting tidak disampaikan secara mendadak, kecuali memang ada pemimpin yang suka menganggap pesan darinya kurang penting.

3. Pemimpin harus bisa mendelegasikan pekerjaan ke bawahan, seorang pemimpin tidak mungkin tidak memiliki bawahan, kalau tidak bisa mengetik surat, minta bawahan atau sekretaris untuk mengetik.

4. Pemimpin jangan takut dengan opini publik, dan harus siap dikritik, karena pemimpin berada di tempat yang selalu disorot. Gossip dan opini negatif itu hal biasa untuk seorang pemimpin, sering-sering “RAPOPO”.

5. Pemimpin adalah manusia biasa. Di dalam suratnya Pak SBY mengakui bahwa pemerintahannya selama 10 tahun masih belum maksimal, dan Beliau juga mengharapkan pemimpin berikutnya yang lebih baik untuk Indonesia, dan mencintai rakyat.

6. Dan yang terakhir, anak muda terutama pelajar dan mahasiswa harus sering update berita, jadi tidak ketinggalan informasi penting, seperti saya yang baru membaca surat dari Presiden tercinta hari ini.

(NB: Apa bila ada ajudan dari Pak Presiden yang membaca tulisan ini, saya mohon maaf jika ada salah-salah kata, dan tolong jangan kirim “Somasi” ke saya karena kritik-kritik tulisan Presiden, lebih baik kirimkan “Siomay” sebagai tanda persahabatan…)

Salam tulis menulis… :)

[Djoel]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun