Tema : Aku Cinta Kimia
Dengar! Jika itu Bersamanya
Sesaat lalu, aku membayangkan. Apa jadinya aku tanpa mimpi-mimpi yang aku buat? Apa aku akan bisa sampai sejauh ini? Memandang segala kegamangan dengan sebuah keyakinan yang utuh. Bagi sebagian orang, mimpi hanyalah mimpi. Bukan penentu, bukan sebuah start, hanya sebatas imajinasi. Hanya buatku, mimpi itu awal dari segala cerita. Seperti halnya hadirku, mimpi ayah ibuku memiliki anak.
*Disini. Aku memulai semuanya. Langkah awal yang menuntunku pada sebuah perubahan.
Namaku Ayu Giantara. Orang-orang biasa memanggilku Gia. Aku terlahir sebagai seorang perempuan, yang mempunyai satu kakak perempuan dan dua adik laki-laki. Ibu dan ayahku adalah seorang petani, yang juga mengabdi kepada masyarakat sebagai aparatur desa. Kami tinggal di sebuah desa yang damai dan asri, dengan lukisan alam yang membentang indah mengelilingi kami. Jika menatap langit, kita bisa menemukan lukisan lain yang membentang biru dengan corak paduan putih. Pesona alam, selalu bisa membuaiku untuk tetap tinggal lebih lama.
Indonesia. Negeri dengan sejuta kekayaan alamnya. Dengan beribu budayanya. Indonesia dengan sejuta problemanya. Kemana perginya cendikia-cendikia? Dimana diamnya orang-orang pandai, orang cerdas itu? Dikirim ke negeri orang lagi? Karena mereka mengganggu kedudukan para petinggi? Dimana orang-orang kaya itu? Terlalu sibuk dengan bisnis mereka? Lupa kiri kanan yang jauh dibawah mereka. Macam negeri antah brantah saja.
Aku geram dengan hal yang pelik seperti itu. Seolah telah mengakar pada diri Indonesia. Pendidikan seperti tak ada gunanya, hanya pelengkap penderitaan. Hei lihat, perhatikan. Para petinggi itu. Bukankah hampir semuanya itu adalah orang terdidik, tinggi-tinggi mereka sekolah. Sarjana, master, profesor, doktor, dan entah apalagi gelar mereka, tapi apa hasilnya? Mereka hanya asyik bermain dengan uang, menikmati semua yang telah mereka dapat. Kemewahan, rumah megah dengan bermacam fasilitas. Tak perlu antre beli bensin, apalagi menunggu angkutan umum. Adakah satu orang saja yang memikirkan, bagaimana rakyatnya? Puas atau tidak mereka makan? Panas atau tidak mereka berjalan? Dingin atau tidak saat malam menjelang? Ada? Pasti ada.
Kalian lihat seorang guru. Apa yang ada di pikiran kalian? Pantaskah jika mereka mendapat gaji yang sama seperti Menteri? Ya. Aku disini. Ditempat ini memulai kisahku, untuk merubah pendidikan Indonesia. Aku tidak berpikiran untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi, dengan segala yang telah tersedia untukku. Cukuplah banyak koneksi untuk memulai merubah semua sistem ini. ‘Mulailah setahap demi setahap. Allah tak pernah melirik hasilnya, tapi prosesnya.’
Sains. Ilmu yang sangat aku segani. Ilmu sangat menakjubkan. Bagaimana tidak. Kita bisa mengungkap segala hal dalam tubuh kita, alam ini, bahkan hal yang tak terlihat oleh kasat mata. Sangat menakjubkan, saat aku tahu ada lebih dari 5 meter usus melilit rapih dalam perutku. Saat aku tahu, dalam darah dan ludahku ada suatu sistem buffer. Sangat sempurnanya Allah menciptakan kita dengan teliti, rapi, dan rumit. Aku juga mulai berhati-hati saat membeli makanan atau minuman. Ada banyak sekali makanan dan minuman yang jika kita teliti, mengandung banyak sekali racun bagi tubuh kita. Memang nikmat, makanan dan minuman yang telah diberi berbagai macam perisa, pemanis atau pewarna itu. Tapi, semuanya itu dapat meracuni tubuh kita sendiri, merusak dengan perlahan sistem-sistem didalam tubuh kita. Pepatah Arab mengatakan “Menghindari kerusakan lebih utama daripada mencari kenikmatan.”
Aku sangat menyukai Sains. Terutama yang berkenaan dengan Kimia. Ya. Empat tahun terakhir ini aku jatuh cinta kepadanya. Entah berapa kali aku jatuh cinta padanya. Dia membuatku kagum akan ilmu yang dimilikinya. Ah, kemana saja aku ini. Mengapa baru 4 tahun ini mencintanya? Sungguh, dulu aku memang menyukai sains. Tapi, tak ada satu pun dari mataku melirik kimia. Tertarik pun tidak, apalagi jatuh cinta. Tapi sekarang, aku seperti orang bodoh. Bagaimana tidak? Aku harus bersikukuh dengan orangtuaku hanya untuk mengejarnya. Ya. Untuk sampai disini bersamanya, aku harus menjelaskan berulang kali pada ayah ibuku, membujuk, merayu dan apalagi lah namanya. Aku hanya butuh restu mereka, itu saja. Penting bagiku, restu dan Ridha mereka. Aku harus mengikuti 5 tes masuk sekaligus. Aku sangat takut, aku tak bisa bertemu dengannya lagi. Aku kencangkan doaku, seribu kali lebih kencang dari biasanya. Seribu kali lebih sering dari biasanya. Haruku menjadi, saat namaku dinyatakan lulus. Sujudku lebih lama, terima kasihku tak henti-henti. Aku tertakdir dengannya. Tertakdir dengannya.
Dengarkan lembutnya Allah memanggilmu. Rasakan dekapan Allah menjagamu, dekap Allah mencintaimu. Tidakkah setiap yang ada mempunyai penjelasan. Tidakkah kau dengar penjelasan Allah saat hujan turun, mengapa ia turun, untuk apa ia turun. Tidakkah kau lihat betapa besar kecintaan Allah, dengan lukisan yang ia ciptakan tanpa satu pun kecacatan agar manusia dapat menikmatinya.
Aku menikmati setiap helaannafas yang Allah berikan untukku, setiap langkah yang Allah amanahkan kepadaku, setiap untaian kata yang menguntai tangga kerinduan pada Rosul-Nya.
Dan kini aku bersamanya. Tak akan aku lepaskan dirinya. Ia adalah mimpi yang menjadi nyata. Ia adalah kenikmatan yang diamanahkan kepadaku. Aku ingin bersamanya untuk waktu yang sangat lama. Aku ingin membawanya menjelajahi dunia, merubah pendidikan Indonesia, menciptakan hal baru, dan masih banyak lagi yang ingin aku lakukan bersamanya.
Menjadi seorang pendidik yang terdidik, jika itu bersamanya. Aku mau. Jika itu dengannya. Aku mau.
By. Eni Rostini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H