Pembagian raport usai sudah. Damar tersenyum melihat nilai di raportnya. Tak sia-siaselama ini giat belajar. Pun dengan Rian, sahabat dekatnya. Nilainya membawanyamenjadi juara kelas 3 IPA 1. Meski bukan juara pararel antar kelas. NilaiHasan, anak kelas 3 IPS 1 juga tak jelek-jelek amat. Juara 2 lomba Qori'tingkat Provinsi itu memang tak terlalu terobsesi dengan nilai mata pelajaran.Ia hanya ingin memperbanyak hapalan Alqur'annya agar bisa masuk Universitas Islamdengan harapan bisa ikut mendaftar beasiswa ke Mesir yang banyak ditawarkanmelalui kantor Depag. Sementara itu Hartono, anggota terakhir geng kapak tampaksangat berbunga-bunga. Nilainya banyak mengalami kemajuan. Ia masuk 10 besarkelas 3 IPA 3, kelas IPA paling terakhir. Cita-citanya sendiri teramat mulia.Menjadi seorang guru di desa tempat ia dilahirkan. Menghabiskan sisa hidupnyauntuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Dulu mereka berempat adalahmurid-murid kelas 1.6 dengan nasib dan visi yang seragam. Sama-sama memprihatinkannamun mempunyai tekad sekuat baja.  Dikelas dua mereka tercerai berai karena kebijakan sekolah. Persahabatan merekatak lekang oleh waktu. Meski di pisahkan kelas yang berjarak ribuan milimeter.Â
Seperti liburan cawu sebelumnya,mereka telah merencanakan liburan bersama. Tak  muluk-muluk. Tak ke Bali, Sidney atupun BaitulMaqdis. Hanya tempat-tempat wisata di sekitaran tempat sekolah mereka. Takjauh-jauh juga. Cita-cita terjauh mereka hanya mau ke Jogja ketika nantisama-sama sudah lulus sekolah. Ya, masih nanti ketika mereka telah sama-samalulus. Liburan cawu kali ini mereka bersepakat untuk mengunjungi pantai yangletaknya tak jauh dari rumah Hasan. Meski ini bukan kunjungan pertama,berkumpul bersama dengan sohib-sohib terdekat di kala beban pelajaran usaiadalah nikmat tak terkira.Â
Di momen seperti itu kadang mereka saling berbagicerita dan keluh kesah selama menghadapi pelajaran di kelas masing-masing.  Ataupun berbagi mimpi tentang kehidupan dimasamendatang. Bisa juga saling berbagi cerita tentang hubungan percintaan mereka.Sayangnya mereka semua adalah bujang tak laku nan memprihatinkan. Kecuali Rian,tentunya. Cerita mereka hanya tentang obsesi memacari Si A, bunga kelas 3 IPS2, atau jalan bareng si B Adik kelas 1, atau ngajakin nonton si C teman sekelas yang tercantik. Iya, sekedarobsesi saja. Membayangkan dimanapun saja. Toilet, kamar tidur, pinggir jalan,lapangan upacara, kantin, perpustakaan, atau bahkan ruang kelas. Tapi nihil didunia nyata. Namun kali ada yang berbeda dengan Damar. Ada kebimbangan dimatanya. Jujur tentang PDKTnya yang itu berarti mensejajarkannya dengan Rian.Atau diam saja, namun memendam hasrat sendirian
Kurang lebih satu jam lamanya Damarmengayuh sepedanya menuju rumah Hasan. Ia menaruh sepeda jengkinya di bawah pohonjambu air. Sementara itu  Rian danHartono sudah datang lebih dulu dan sedang asyik bergelayutan diatas pohonjambu air. Mereka sedang mengumpulkan buah jambu air untuk lutisan nantisepulang dari pantai. Hasan sibuk menyiapkan minum dan juga cemilan untuksahabat-sahabat karibnya itu. Ada pisang juga ubi rebus. Setelah setengah jammereka mencicipi pisang dan ubi rebus serta bercanda gurau merekapun berangkatke pantai. Dengan berboncengan sepeda hanya dibutuhkan waktu sekitar lima menitsaja. Dari kejauhan suara gemuruh pantai selatan terasa menggetarkan jiwa siapasaja yang belum pernah mendengarnya.Â
Tapi tidak bagi mereka berempat terutamaHasan. Pantai selatan adalah tempat terindah bagi mereka menumpahkan keluhkesah dan masalah. Suara ombak yang menggelegar seperti menutupiteriakan-teriakan batin yang tertumpah. Seperti sahabat yang selalubersahut-sahutan menciptakan harmoni. Merekapun menitipkan sepeda di rumahpenduduk paling dekat dengan pantai. Mereka tetap harus berjalan ke pantaisepanjang 200 meter.Â
Dari kejauhan tampak sepertihamparan padang pasir yang terbentang luas. Di puncak hamparan pasir baru merekabisa melihat  gagahnya ombak pantai lautselatan yang bergulung-gulung. Pasirnya yang hitam seperti berlian hitam tampakindah di bawah sinar mentari. Kilatan-kilatan dari cangkang kerang yangberserakan membuat mata silau. Tak sabar mereka berempat mendekati bibirpantai. Namun mereka tetap dalam kesiagaan penuh karena ombak pantai selatan tersohorbegitu ganas. Berjalan mereka menyusuri bibir pantai sembari bercerita apasaja. Lalu berkejar-kejaran seperti anak ayam yang mengejar induknya.Â
Lelahberlari mereka merebahkan diri di gundukan pasir dan bebatuan sambil menataplangit. Hasan mendekati Hartono dan seperti hendak menceritakan sesuatu yangpenting. "Menurutmu ton, setelah Bapakku meninggal setahun lalu, aku lebihbaik meneruskan tugas Bapak atau tetap mengejar apa yang aku cita-citakan?Pihak pondok menginginkan agar aku meneruskan tugas bapak mengajar. Sementarakuliahnya di STAINU di kabupaten saja. Sementara penginku sih di IKH Jombangsana sambil membuka jaln agar bisa kuliah di Mesir." Hasan membukapembicaraan. "Ibumu sendiri gimana?", jawab Hartono. "Ibuku sihmenyerahkannya padaku," Hasan menimpali. "Kamu kan yang menjalani.Ibumu sepertinya juga tidak mempermasalahkannya. Lantas apalagi yang membuatmubimbang?"Â
Hartono bertanya balik. "Aku khawatir dengan biayanya ton.Apakah Ibuku yang sendirian bisa membiayai awal-awal kuliahku sementaraadik-adikku juga perlu biaya sekolah. Sementara jika aku meneruskan Bapak, ituartinya aku juga membantu Ibu. Padahal sejak kecil aku tuh sudah pengin bangetkeluar dari lingkungan pondok. Aku tuh pengin menimba ilmu langsung kepada paraKyai di pesantren-pesantren modern di Jawa Timur sana. Aku pengin ke Tebu IrengTon. Pengin bisa kuliah di Mesir. Pokoknya pengin menimba ilmusebanyak-banyaknya", Hasan bercerita dengan berapi-api. "Lebih baikkamu sholat Istikharah aja San. Mungkin itu lebih baik. Nanti ketika kamumemutuskan untuk pergi dari pondok, pastikan Ibumu ridho dan ada yang jagainIbu", Hartono memberi nasihat pamungkasnya. Pikiran Hasanpun menerawangjauh. Melalang buana tak tentu arah. "Andaikan ada saudagar kaya yangmasih mau menikahi ibu dan baik lagi, tentu aku tak perlu sebimbang ini"gumamnya lirih. "Jangan kurang ajar kamu San!", Hartono menimpalisambil menaburkan pasir ke arah Hasan. Merekapun tertawa menertawakan kelakuanmereka masing-masing. "Kamu sendiri yakin Ton mau jadi guru? Ngomong samaperempuan aja kamu takut. Gimana nanti menghadapi murid", tanya Hasan padaHartono. "Jadi guru itu modal utamanya kan bukan cuma bisa ngomong. Tapilulus UMPTN dulu", jawab Hartono. 'Emangnya kamu yakin lulus UMPTN?",ejek Hasan pada temannya itu. "Aku sudah mempersiapkanya dari jauh-jauhhari ndes. Aku juga sering belajar bareng Rian, sohib kita yang jeniustuh." sambil menunjuk ke arah Rian yang tampak sedang serius sekaliberbicara dengan Damar di balik batu karang agak jauh dari bibir pantai."Setidaknya kamu siapkan rencana cadangan. Kecuali kalau kamu mau di IKIPswasta. Persaingan di IKIP negeri sekarang lebih ketat. Passing Gradenyatingi-tinggi. Banyak yang pengin jadi guru", Hasan mencoba memberipencerahan. "Iya juga ya San. Apalagi sekarang IKIP sudah banyak yangberubah jadi Universitas. Jurusannya ga cuma pendidikan saja", ucapHartono sambil menghela nafas. Sepertinya ia mendapat pencerahakan baru. Banyaksekali kesempatan yang tersedia di muka bumi ini. Ia tak ingin terpaku pada hanyamenjadi guru sekolah ketika persaingannya menjadi lebih berat. Namun ia tetapakan berusaha sekuat tenaga mewujudkannya.Â
Tak jauh dari situ Rian dan Damarsedang asik menceritakan hal yang mau mereka ceritakan. "Kamu masih belumlelah mengejar Mentari Rian?", tanya Damar. "Belum dap. Meski kadangaku juga bimbang. Dyah lama-lama juga semakin menarik. Sepertinya Dia takpeduli kalau aku masih menaruh hati pada Tari. Terkadang aku juga kasihandengan Dyah." jawab Rian dengan tersenyum kecil. "Kamu sudah pernahngomong serius dengan Mentari. Atau jangan-jangan kamu cuma TP TP saja?",Damar bertanya kembali. "Pernah sekali. Ia bilang juga punya perasaan yangsama. Namun Ia bilang ingin fokus dulu dengan sekolah. Ia akan ikut PMDK ambilSastra Inggris. Pak Sudi sepertinya tak suka padaku." Rian menjawab denganmuka sedih. "Itu lah resiko menyukai anak kepala TU yang tiap harinya tahukeseharian kita. Lagian ada ikan asin didepan mata, mengapa harus menunggutumis tempe yang di masakpun belum."Â
Damar menggoda sahabat terdekatnyaitu. " Aku tak begitu suka ikan asin. Aku sukanya tumis tempe." Rianmenimpali sambil tertawa lebar. "Kamu sendiri memang ingin fokus mengejarcita-citamu atau memang tak suka perempuan?", Rian balik bertanya. "Kurang ajar kamu Yan. Pada awalnya aku memang sungguh-sungguh fokus belajar.Buktinya kita kan bisa jadi lawan yang sepadan. Dulu dikelas satu kita selalugantian jadi juara kelas meski kamu dua kali dan aku cuma sekali di cawu kedua.Namun sepertinya semuanya berubah. Aku ga tahu Yan. Ini cobaan atau anugerah.Sepertinya aku jatuh hati pada seorang perempuan." Damar menjawabperlahan. "Yang pasti itu fitrah Mar. Kalau boleh tahu siapa sih wanitayang bisa menaklukkan si pria paling cool di geng kita ini?", Rianpenasaran. "Tapi kamu janji ya Jangan sampai orang lain tahu. Karena akusendiri juga bimbang. Apakah tepat di saat-saat seperti ini menyatakan cinta.Â