"Sekarang ada barang baru yang namanya ART, Autonomous Rapid Transit. Tidak pakai rel, tapi pakai magnet, bisa tiga gerbong, dua gerbong atau satu gerbong", ujar Presiden Jokowi yang dikutip dari channel youtube Sekretariat Presiden.
Hal ini disampaikan Presiden Joko Widodo saat membuka Rakernas Apeksi (Rapat Koordinasi Nasional Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) di Balikpapan pada tanggal 4 Juni 2024 kemarin.
Awalnya, Presiden Jokowi menyoroti kemacetan di sejumlah kota di Indonesia, terutama Surabaya, Medan dan Bandung. Keberadaan Autonomous Rapid Transit (ART) diharapkan bisa menjadi solusi atas kemacetan yang selama ini terjadi.
Lalu, apa itu ART dan apa bedanya dengan MRT dan LRT?
ART atau Autonomous Rapid Transit adalah transportasi publik mirip kereta namun tanpa rel, ia berjalan di atas jalan raya mengikuti garis putih atau kuning yang disebut virtual track. ART ini biasanya terdiri dari 3 gerbong tanpa pengemudi, berjalan dipandu oleh GPS dan teknologi sensor.Â
Karena melaju diatas jalan biasa, maka harganya pun relatif murah jika dibandingkan dengan LRT atau MRT.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk MRT berkisar Rp 2,3 triliun untuk jarak 1 KM. Untuk LRT, anggaran yang harus dikeluarkan Rp 800 miliar untuk 1 KM. Sedangkan untuk ART ternyata hanya Rp 500 miliar hingga Rp 600 miliar untuk jarak 7 KM.
Negara mana saja yang telah menggunakan ART?
Selain di China ART juga telah digunakan di beberapa negara seperti Malaysia, Uni Emirat Arab, Belanda dan Maroko.
Apa yang menjadi kelebihan dan kekurangan ART untuk digunakan di Indonesia?
Dilansir dari laman PUSTRAL UGM (pusat studi transportasi dan logistik) bahwa kelebihan ART adalah tidak mengeluarkan emisi gas, tidak bising, memiliki sistem wireless yang tidak lagi memerlukan rangkaian listrik berupa kabel di atas jalur kereta, serta dapat menampung jumlah penumpang yang lebih banyak. Namun terdapat beberapa kelemahan dalam pengoperasiannya, yaitu menyebabkan penurunan kecepatan untuk moda transportasi lainnya (bus dan mobil) pada saat dioperasikan. Pada kondisi lalu lintas campuran (mixed traffic), ART cenderung tertunda oleh gangguan di jalurnya, dan berpotensi menyebabkan kemacetan bila tidak dirancang dengan baik. ART juga dapat menyebabkan kerusakan atau kecelakaan jika tidak dibuat rambu lalu lintas yang jelas, karena adanya konflik dengan pengguna jalan lain.
Seiring meningkatnya jumlah penduduk, bertambahnya jumlah kendaraan pribadi, serta infrastruktur yang tidak memadai menyebabkan kemacetan yang sulit dihindari. Keberadaan ART diharapkan bisa menjadi solusi, terdapat peluang dan tantangan bagi pemerintah juga masyarakat sebagai pengguna ART.
Peluang dan tantangan penggunaan ART
- Bagi masyarakat, keberadaan ART (Autonomous Rapid Transit) akan memberikan kenyamanan dan keamanan serta efisiensi, sebab ART bisa menampung banyak penumpang dan tanpa gas emisi. Namun, masyarakat luas serta pengguna ART juga harus bisa beradaptasi, sebab ART adalah hal baru sehingga diperlukan budaya baru agar keberadaan ART bisa berjalan sempurna.
- Pemerintah harus membuat regulasi yang jelas serta merancang track/jalur ART yang baik agar tidak terjadi masalah di kemudian hari. Pemerintah juga bisa menggandeng swasta untuk pendanaan agar keberadaan ART bisa segera terwujud. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat akan penggunaan dan manfaat ART, agar keberadaan ART bisa menjadi solusi kemacetan yang selama ini dirasakan.Â
Semoga keberadaan ART bisa segera terwujud dan tidak ada lagi kemacetan yang selama ini biasa terjadi.