Mohon tunggu...
Engkos Kosasih
Engkos Kosasih Mohon Tunggu... Operator - 100 komentar, bisa yuk

Menulis tidak hanya bekerja untuk keabadian, menulis juga bekerja untuk perubahan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sungkeman, tradisi dan manfaatnya secara psikologis

29 Februari 2024   05:30 Diperbarui: 29 Februari 2024   05:38 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: bapelkessemarang.id

Hari Raya Idul Fitri atau kita sering menyebutnya Lebaran adalah momen yang spesial dan paling ditunggu oleh kaum Muslim dunia, termasuk Indonesia.

Momen spesial ini biasanya digunakan untuk bersilaturahmi, berkumpul dengan keluarga. Baik keluarga yang dekat, maupun yang jauh. Bahkan momen ini akan lebih spesial dengan hadirnya anggota keluarga baru.

Indonesia dengan beragam suku bangsa dan budayanya memiliki tradisi yang berbeda-beda dalam merayakan lebaran.

Di pulau Jawa, khususnya Jawa tengah ada tradisi khusus dimana keluarga berkumpul untuk saling memaafkan dan saling mendoakan. Tradisi ini saya bilang khusus karena suasananya spesial. Tradisi ini dinamakan sungkeman.

Saya yang bukan asli Jawa Tengah, pertama kalinya menyaksikan dan mengalami langsung prosesi sungkeman. Sungkeman yang pada tahun 1930 sempat membuat Ir. Soekarno nyaris ditangkap Belanda ini memiliki makna tersendiri. Suasana yang penuh haru dan bahagia itu selalu melekat dalam ingatan. 

Sungkeman dilakukan setelah menunaikan Shalat Ied. Semua keluarga berkumpul di rumah orang tua. Saya yang merupakan anggota keluarga baru disambut dengan hangat. Dimulai dari anak yang paling tua bergantian sampai ke anak ragil, yang paling muda, duduk berhadap-hadapan bersimpuh. Dengan tangan diapit, kepala menunduk nyaris menyentuh pangkuan orang tua, lalu mengucapkan kata maaf dan mohon do’a restu. Tentu dengan bahasa Jawa Krama yang saya ga paham. Setelah itu, sambil mengusap kepala atau pundak, orang tua akan memanjatkan do’a-do’a untuk anaknya.

Tidak hanya kepada orang tua, sungkem juga dilakukan kepada saudara yang lebih tua, caranya pun sama. Bahkan sungkem di hari lebaran juga dilakukan kepada orang-orang tua yang ada di kampung. Saya pun ikut serta diajak keliling kampung untuk bersilaturahmi saling memaafkan. Saya yang tidak bisa berbahasa Jawa tentu akan bingung, istri lah yang terpaksa jadi penerjemah.

Ada nilai-nilai positif yang diajarkan orang tua melalui tradisi sungkeman. Kedekatan orang tua dengan anak-anaknya itulah yang saya rasakan. Tidak hanya berdekatan secara fisik, tetapi ada semacam keterikatan batin, cinta kasih dan saling menghormati. 

Dengan sikap merendah di hadapan orang tua, serta ucapan permohonan maaf dan meminta do’a restu, maka itu berarti diri ini rendah, tidak ada yang patut dibanggakan. Adanya kita, sukses kita di dunia, tidak lepas dari peran orang tua selama ini. 

Kemudian, do’a yang terucap dari bibir orang tua, akan membuat suasana hati lega, damai dan bahagia. Tak terasa air mata pun bercucuran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun