Takut. Gelisah. Was-was. Gemetar. Itulah yang kurasakan saat ini. Aku tak ingin mengingatnya. Sungguh aku tak ingin mengingatnya. Bayangan kejadian itu membuatku trauma. Selalu membuatku ingin lari darinya. Tapi aku tak bisa. Aku tak sanggup. Bayangan itu selalu mengikutiku. Kemanapun, dimanapun, dan kapanpun. Kini apa yang harus ku perbuat? Semua usaha telah ku lakukan untuk menghilangkan bayangan itu dari pikiranku. Tapi, nyatanya semua hanya sia-sia. Tak ada satupun dari usahaku yang membuahkan hasil. Tuhan, ku mohon. Hapuslah ingatanku mengenai kejadian mengerikan itu.
Sudah empat hari lamanya aku mengurung diri di apartemenku, dimana aku tinggal sendiri. Aku menolak untuk bertemu siapapun. Teman-temanku. Keluargaku. Dan juga, Zain. Keadaanku sekarang ini sangat menyedihkan. Sungguh, aku ingin lari dari keadaan ini. Tapi apa dayaku.
***
Lima hari yang lalu..
Aku berangkat ke kantor seperti biasa yang kulakukan. Tepat pukul 07.00 aku berangkat menuju tempat kerja. Empat puluh lima menit kemudian aku sampai, aku langsung masuk ke dalam, naik lift menuju lantai 5 dimana aku bekerja.
“Sandra, pagi.” Zain menyapaku. Zain adalah teman kerja yang sangat dekat denganku.
“Selamat pagi.” Aku membalas sapaannya. Aku pun duduk dan meletakkan tasku di meja kerjaku. “Tumben banget kamu udah di kantor jam segini?” dengan melihat jam tanganku untuk memastikan aku tak salah melihat jam.
“Seperti yang kau lihat, aku ada disini sekarang.” Jawabnya dengan tersenyum. Zain berbalik ke arah mejanya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Aku pun sibuk dengan kertas-kertas di atas mejaku.
Karena meja kerja kami bersampingan, kami sangat dekat seperti kakak dan adik. Aku sering berbagi cerita dengan Zain ketika waktu kami luang. Memang, aku adalah seorang wanita 25 tahun yang sangat suka berbicara –bukan berarti aku cerewet. Kami sudah sangat sering berbai cerita. Baik itu masalah keluarga atau bahkan masalah pribadi yang tak segan-segan aku bercerita kepadanya. Menurutku Zain adalah seorang pria 28 tahun yang tampan, pandai bergaul, pandai menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, dan pengertian terhadap temannya. Dia juga seorang yang dapat sangat diandalkan ketika aku membutuhkan bantuannya.
Karena sangking dekatnya aku dengan Zain, teman-teman satu kantor kami mengira kalau kami mempunyai hubungan. Aku anggap itu sangat lucu, karena akuhanya menganggap Zain sebagai teman saja. Lagi pula aku juga sudah mempunyai seorang kekasih yang sangat aku cintai, namanya Niko, Manajer di perusahaanku bekerja. Hanya berbeda 2 tahun lebih tua dari umurku sekarang.
“Zain,” Panggil Benny, teman satu kantor kami. “Mau ke cafetaria? Bareng?”. Waktu memang sudah menunjukkan jam makan siang, dan seperti biasa Benny selalu mengajak Zain pergi bersamanya.
“Oke. Tunggu.” Zain langsung berdiri menerima ajakan Benny. “Sandra, kamu gak ke cafetaria?” Zain bertanya kepadaku.
“Oh. Aku masih nunggu Niko. Bentar lagi kita juga mau kesana.”
“Baiklah. Kami pergi dulu.” Mereka berdua langsung berjalan meuju cafetaria.
Beberapa saat kemudian, Niko datang menghampiriku. Dia menepuk pundakku lembut. “Hai sayang. Maaf, aku membuatmu menunggu.” Merasa tidak enak karena membiarkanku menunggu.
Aku menoleh ke arahnya, “Tidak apa-apa.” Jawabku dengan tersenyum.
“Ayo.” Ajaknya. Aku langsung berdiri dan berjalan berdampingan dengannya menuju cafetaria.
Aku dan Niko duduk di tempat biasa yang kami tempati. Di tempat itu aku bisa melihat Benny dan Zain sedang mengobrol. Kelihatannya obrolan yang serius. Sesekali Benny melihat ke arah kami. Aku jadi penasaran apa yang mereka obrolkan.
“Sayang, kamu mau pesen apa?” Pertanyaan Niko menghamburkan lamunanku.
“Oh. Aku seperti biasanya aja.” Jawabku dengan tersenyum kepadanya. Niko langsung beranjak dari tempat duduknya untuk memesan makanan. Aku kembali melihat ke arah Benny dan Zain. Mereka masih tetap dalam keadaan yang sama. Tapi, aku mendapati Zain berdiri dengan kasar, seolah-olah dia sedang marah.
“Apa yang kamu lihat?” Suara Niko mengagetkanku. Dia langsung melihat arah yang sedang ku lihat. “Kamu sedang memperhatikan mereka?” ketika Niko mendapatiku sedang melihat ke arah Zain dan Benny. Dia langsung duduk dengan membawa senampan makanan.
“Ah. Enggak. Kalo dilihat-lihat, sepertinya Zain sedang marah kepada Benny.” Aku membantu Niko menyiapkan makanan yang kami pesan tadi.
“Sudahlah, lebih baik kita makan.” Ajak Niko dengan menyodorkan sendok dan garpu kepadaku.
“Baiklah.” Aku menerimanya an langsung melahap makan siangku.
Jam pulang kerja pun sudah lewat. Malam ini aku harus lembur di kantor karena pekerjaanku menumpuk. Tapi tak apa. Aku tak sendirian. Karena aku tahu Niko juga masih di ruangannya. Dan juga masih banyak karyawan lain yang sedang lembur sekarang. Tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 21.45. tak berapa lama kemudian, aku mendengan sura pintu terbuka dari ruangan Niko. Ku pikir Niko keluar untuk membuat kopi atau bagaimana, tapi ternyata dia berjalan ke mejaku dengan membawa tasnya.
“Sayang, pulang yuk. Udah malem lho. Aku anterin kamu ya.”
“Bentar lagi sayang. Nanggung ini.” Aku masih sibuk dengan kertas-kertas di mejaku.
“Baiklah. Aku akan menunggu. Tapi hanya sampai jam 10.” Dia mengambil kursi dan duduk di sampingku.
“Baiklah.” Aku hanya tersenyum dan melanjutkan pekerjaanku.
Niko hanya diam tak berkata apa-apa. Sesekali dia bermain handphone-nya dan sesekali dia melihat jam tangannya.
“Sayang, ayo. Udah jam 10. Ayo pulang.” Ajak Niko.
“Tunggu. Aku belum menyelesaikan bagian ini.” Aku menolak tanpa melihat ke arahnya dan sibuk mengobrak-abrik kertas-kertas itu.
Tangan Niko menghentikanku dari kegiatanku saat itu. Aku langsung melihat ke arahnya. Dia tampak marah. “Niko..” Kataku pelan.
“Kemasi barang-barangmu dan ayo kita pulang.” Perkataannya tajam. Semua orang yang masih di kantor melihat ke arah kami. Aku tak biasa melihat Niko seperti itu. “Ini sudah malam sayang. Waktunya kamu istirahat.” Suaranya lebih lembut dari sebelumnya. Dia melepaskan tanganku dengan lembut.
Tak berpikir lama, aku langsung membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas mejaku, dan mengemasi barang-barangku untuk kumasukkan ke dalam tas. Aku sedikit takut jika Niko memarahiku. Tapi aku percaya karena dia sayang padaku, maka dari itu dia melakukannya.
“Aku udah siap. Ayo.” Berdiri dari kursiku dan mengajak Niko untuk pulang. Aku tak ingin melihatnya marah lagi.
Niko berdiri dan tersenyum. Lalu dia menggandeng tanganku keluar dari kantor. Kami menuju tempat parkir dimana mobilnya berada. Langsung masuk ke mobilnya dan berangkat. Selama di perjalannya menuju rumahku, Niko hanya diam saja. Kami sama-sama diam. Aku sedikit takut untuk memanggilnya.
“Emm, Niko. Makasih udah mau nganterin aku ke rumah.” Kataku akhirnya memberanikan diri.
Niko masih diam. Lalu dia meminggirkan mobilnya. Aku kaget. “Niko kenapa?” Aku bertanya ke arahnya.
Niko menghadap ke arahku dengan tatapan tajam. Aku sedikit takut. Aku memundurkan punggungku sampai menempel pada pintu mobilnya. Dia perlahat menggenggam tanganku. Genggamannya semakin kuat. Aku merasa kesakitan.
“Niko. Lepasin. Sakit..” Aku meringis kesakitan.
“Sandra, kamu sayang kan sama aku? Kamu cinta kan sama aku? Apa salahnya kalo kita melakukan hal itu?”
Niko terlihat menakutkan dimataku saat ini. Apa yang sebenarnya terjadi dengannya? Aku tak bisa menemukan jawabannya. Aku menganggap Niko adalah orang yang sangat baik dan perduli kepadaku. Tapi apa sekarang? Mengapa dia seperti ini sekarang. Tanpa kusadari, bibirnya berusaha untuk menciumku. Aku menolak dengan keras.
“Niko. Aku gak mau. Stop Niko. Stop.” Aku berusaha mendorongnya ke belakang, tapi tak bisa. Aku berusaha untuk keluar dari mobil itu, tapi tangan Niko mencegahku. “Niko, ku mohon. Jangan lakukan ini.” Aku menangis. Air mataku tak mau berhenti.
Tiba-tiba saja, Zain muncul di belakang pintu mobil dimana aku duduk. Dia berusaha membuka mobil itu, tapi tak berhasil. Aku melihat Zain. Tanpa berpikir panjang aku langsung meneriakkan namanya. “Zain.. tolong aku.”
Zain lalu menuju ke pintu di lain sisi. Dia berhasil membukanya dan menarik Niko keluar dengan paksa. Tak tanggung-tanggung dia langsung memukul Niko tepat di rahang kirinya. Niko langsung jatuh. Aku yang melihat itu hanya diam tak berkata dengan masih bercucuran airmata.
“Sandra, kamu gak apa-apa?” Zain muncul disebelahku dengan nada suara dan raut wajah yang cemas. Sangat cemas sekali. Aku bisa melihat itu dari ekspresi yang dia tunjukkan sekarang.
Aku tak menjawab. Aku hanya bisa menangis. Air mataku semakin banyak yang keluar. Zain lalu mengeluarkanku dari mobil Niko. Dia langsung memboncengku di motornya dan mengantarku pulang ke apartemenku.
Ketika sampai di apartemenku, aku hanya mengucapkan kata,
“Terima kasih” aku langsung masuk ke aprtemenku.
“Sandra,” Zain memanggilku berusaha menghentikanku dari langkahku. Tapi aku tak menggubrisnya.
Aku langsung membuka pintu apartemenku dan menguncinya rapat-rapat. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara mesin motor Zain melaju pergi. Aku langsung lemas, kakiku tak bisa menopang berat tubuhku karena gemetaran. Aku menangis lagi.
Keesokan harinya, aku membuka mataku. Aku tak sadar apa yang terjadi. Aku sudah berada di atas kasurku. Namun masih dengan seragam yang kupakai di kantor kemarin. Aku bangun dari tempat tidurku dan langsung ke kamar mandi. Seketika air mataku keluar lagi. Mengingat kejadian semalam membuatku gemetar ketakutan.
Aku tak berencana pergi ke kantor hari ini. aku tak ingin melihat wajah Zain, apalagi Niko. Aku sangat membencinya sekarang ini. Aku bolos dari pekerjaanku. Aku tak peduli jika akhirnya aku akan dipecat nantinya.
***
Aku sudah mengurung diri selama empat hari di apartemenku. Tanpa keluar kemanapun dan bahkan tanpa bertemu dengan siapapun. Keadaanku sangat menyedihkan sekarang.
Setiap hari, suara interkomku berbunyi. Zain setiap hari mengunjungiku. Dia selalu membujukku untuk keluar dari apartemen. Tapi aku hanya membiarkannya. Bahkan aku tak berbicara sepatah kata pun semenjak hari itu.
Suara interkomku berbunyi lagi. Seperti sebelumnya. Kupikir itu Zain. Tapi setelah aku mendengar suaranya, “Sandra,”
Niko? Apa yang dia lakukan? Dia mencoba untuk melakukan hal itu lagi kepadaku?. Pikiranku kembali ke kejadian malam itu. Selalu saja muncul dalam ingatanku. Aku meremas keras kepalaku untuk melupakannya.
“Sandra,” Panggil Niko sekali lagi melalui interkom.
“Pergi. Pergi kamu. Aku gak mau lihat kamu. Pergi!” aku berteriak sekeras yang aku bisa untuk mengusirnya dari apartemenku.
“Sandra, aku datang kesini hanya untuk minta maaf. Aku khilaf melakukan hal itu. Aku harap kamu maafin aku. Dan aku harap kita bisa kembali seperti dulu.” Suara Niko terdengar sedih.
Aku berjalan ke arah interkomku. “Kita putus. Sekarang pergi!” Aku berteriak keras. Mengeluarkan semua amarahku yang kupendam selama empat hari ini.
“Tapi Sandra, aku masih...”
“Pergi!” Aku menyela omongannya sebelum Niko mnyelesaikannya.
“Baiklah.” Terdengar suara Niko setelah sekian detik hening.
“Sandra,” Terdengar suara seseorang memanggilku di interkom.
Siapa lagi sekarang? Aku melihat di layar interkom. Zain. Dia datang lagi. Zain datang ke apartemenku setelah 30 menit Niko pergi dari sini. Aku masih tetap berdiri di dekat interkonku, diam tak menjawabnya.
“Sandra, ku mohon bukalah pintunya. Aku menghawatirkanmu. Kau sudah terlalu lama mengurung dirimu.”
Aku tetap tak menjawabnya.
“Sandra,” Suaranya terdengar lemas dan khawatir.
“Zain,” Akhirnya aku bersuara. “Kumohon, pergilah. Aku tak ingin bertemu dengan siapapun.”
“Ini gak baik Sandra. Kamu harus keluar. Kamu gak bisa selamanya mengurung dirimu di tempat ini.” Zain membujukku untuk keluar apartemen. “Apa kau makan dengan baik? Apa kau merawat dirimu dengan baik? Aku sangat menghawatirkanmu.”
Aku menangis. “Kenapa Zain? Kenapa kamu baik sama aku?” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku.
“Karena...” Zain terdiam sesaat. “aku mencintaimu, Sandra.”
Aku terkejut mendengarnya. Tapi aku masih diam tak berkata.
“Mungkin ini memang tak tepat aku mengatakannya sekarang. Tapi itulah yang aku rasakan sejak 2 tahun mengenalmu.”
Dua tahun? Selama itu? Aku tak berpikir Zain akan memendam perasaannya selama itu. Sedangkan aku, aku hanya mengenal Niko selama 10 bulan dan aku langsung menyukainya. Tanpa berpikir panjang, aku langsung membuka kunci pintu apartemenku.
“Sandra. Akhirnya..” Senyum Zain mengembang melihatku.
Aku sebenarnya sedikit malu menemuinya karena keadaanku yang seperti ini. Sangat berantakan. Aku hanya menunduk saja.
“Kau baik-baik saja? Kau makan dengan baik?” Dia mengecek keadaanku. Sangat jelas kalau dia khawatir. Tanpa kusadari air mataku menetes. “Sandra? Kamu menangis?”
“Zain, trimakasih.” Aku mengusap air mataku yang terus mengalir.
“Sudahlah.” Dia mengusap kepalaku dengan lembut.
-END-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H