Malam itu Keira punya firasat yang tidak enak. Entah kenapa. Tak terhitung lagi berapa kali ia bolak balik dari ambang jendela ke ruang tamu. Pindah lagi ke kamar tidur lalu ngadem di bawah kucuran shower di kamar mandi. Ia tetap saja merasa kegerahan, meskipun AC sudah distel dalam posisi yang paling dingin.
Ia meraih koper kecilnya. Benda benda berharganya tersimpan rapi di sana.Tanpa berpikir panjang, dimasukkannya beberapa potong bajunya, peralatan rias dan pernak pernik perempuan ke dalamnya. Ia masih menimbang nimbang.
Ketika suara hatinya menyuruhnya untuk menjauhi apartemen itu, Keira tak mengulur waktu lagi. Dengan segera ia turun ke lantai satu dan memanggil taksi.
“Itu sudah di luar kota, non….”
Keira mengangguk cepat cepat saat sopir menyebutkan nominal angka yang harus dibayarkannya. Rasanya ia sudah tak sabar lagi.
~~~~~
Keira sempat singgah ke rumah Diana, sahabat terdekatnya. Sambil menyerahkan kunci apartemen dan segepok uang, ia menitip beberapa pesan.
“Tolong aku Di…. Tinggallah di sana barang dua atau tiga hari…”.
“Kau mau kemana Kei?” tukas Diana ragu ragu.
“Aku ingin menyepi dulu. Ke suatu tempat yang jauh, dimana orang orang tak ada yang mengenaliku….” sahutnya menerawang. Bayangan wajah Mbok Rah melintas lintas di kepalanya.
“Jangan khawatir, aku sudah berpesanpada pengurus apartemen. Mereka telah memberikan ijin, kau boleh tinggal di sana dalam beberapa hari..”.
Mereka segera melaju membelah lalu lintas kota. Sopir taksi yang masih muda itu lincah sekali mengemudi.Sikapnya sopan, ia tak berusaha mengajak bicara Keira meski sesekali dipandanginya lewat spionkecil diatas kemudi.
Sepanjang jalan Keira lebih banyak melamun. Perjalanan hidupnya yang penuh liku, percintaannya yang selalu berbumbu kekerasan dan aroma darah….. Ia menghela nafas panjang. Perasaannya makin tenang setelah jauh dari apartemennya. Resah yang sejak tadi menghinggapi perasaannya perlahan lahan menghilang.
**********
Keira sengaja meninggalkan telepon genggamnya di apartemen. Ia mendelete sebagian besar teman dan sahabatnya setelah memindahkan nomor kontak itu ke hapenya yang lain.
Dan kini, dalam perjalanannya ke rumah Mbok Rah, ia sibuk memasang simcard dan mengaktifkan hape baru yang diberikan Tuan Morgan. Dulu hape itu hanya disimpannya saja di lemari, ia merasa sayang mempergunakannya karena hapenya yang lama masih bagus dan lumayan baru.Ia masih sibuk memencet beberapa tombol, sambil tersenyum senyum. Terkadang ia menunjukkan arah pada sopir taksi bila ditanya.
Malam mulai beranjak larut saat Keira sampai ke kampung halaman Mbok Rah. Beberapa kali ia harus bertanya kepada orang orang yang ditemuinya, hingga akhirnya ia berhasil.
Diulurkannya beberapa lembar ratusan pada sopir taksi. “Ambil saja kembaliannya….terima kasih”.
“Mboookkk……” Keira menubruk wanita tua itu sambil sesenggukan. Ia menumpahkan segala ketegangan dan kesedihannya dipelukan pembantunya yang setia.Dengan sabar Mbok Rah mendengarkan keluh kesah majikannya ini.
**********
Kegemparan yang terjadi di jantung kota nyaris tak terdengar di telinga Keira. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Mbok Rah. Hampir semua kegiatan yang dilakukan wanita tua itu, Keira ada bersamanya.
Pagi pagi buta, ia akan dengan senang hati pergi ke sawah. Disusurinya pematang yang masih basah oleh embun, tangan kirinya menenteng ceret berisi air teh, tangan kanannya memegang sabit. Entah sudah berapa kali ia harus menjaga keseimbangan tubuhnya agar tak terjerembab masuk ke sawah yang basah dan berlumpur. Sesekali ia menjeritriang bila lengannya yang mulus itu dihinggapi belalang kecil atau wereng yang banyak berseliweran. Rona bahagia terbayang jelas di wajahnya yang bermandi peluh, kemerahan.
Mbok Rah tertawa tawa melihatnya. Hatinya sungguh sangat bersyukur, sudah lama sekali ia tak melihat majikannya ini kegirangan sebegitu rupa. Yaa, sejak peristiwa mengerikan di rumah mungil pinggiran kota itu, Keira tak pernah bisa benar benar tersenyum. Senyum yang tulus, yang tak dibuat buat.
~~~~~~
Felix menurut saja saat digelandang ke kantor Polisi. Alibinya tak cukup kuat untuk berkelit dari tuduhan pembunuhan di apartemen Keira. Tak ada saksi mata yang bisa mendukung keberadaannya di malam itu.
“Ada di manakah saudara malam itu? Bisa dijelaskan?”
Felix tergagap gagap, ia tak punya seorang pun yang bisa menerangkan keberadaannya saat peristiwa itu terjadi. Memang, ia sempat bertemu dengan Bram dan beberapa orang teman, tetapi ia meninggalkan acara lebih dahulu. Pulang ke rumah.
Bramlah yang menyelinap ke kamar apartemen Keira. Ia marah bukan kepalang, karena bukan Keira yang dijumpainya.
“Di mana Keira? Dimana….??” Diguncang guncangnya tubuh Diana kuat kuat, hingga perempuan itu meringis kesakitan.
Lebih marah lagi ketika Bram menemukan hape Keira yang tergeletak di meja kecil samping ranjangnya. Beberapa notif panggilan masuk terpampang di sana. Digeretakkan giginya, mukanya merah padam.
Sambil mondar mandir di kamar tamu, Bram mencoba berpikir keras. Sia sia usahanya menemukan Keira selama ini. Sebuah niatan buruk melintas di pikirannya.
“Diana…….” didekatinya perempuan yang duduk gemetar di sofa.
“Cantik juga….”gumamnya. Ditowelnya ujung hidung bangir itu. Diana menolakkan dengan kasar.
Tak ada yang tahu apa yang terjadi selanjutnya. Lenguhan dan teriakan kesakitan Diana justru membuat Bram makin terbakar gairahnya. Sikap Diana yang menolak memberitahu alamat yang dituju Keira makin membuatnya kalap. Entah sudah berapa kali Bram membenamkan Diana ke ranjang, memperlakukan perempuan itu sebagaimana perempuan lacur lainnya yang biasa dibelinya di jalanan.
Dan di puncak kegeramannya, ia menyiksa dan membunuh Diana dengan keji. Sambil membersihkan tangannya dari noda darah, Bram tersenyum penuh kemenangan.
Tak ada yang menyadari saat Bram menyelinap keluar bersama penghuni apartemen yanghendak beraktifitas. Semua berjalan seperti biasa, seolah tak terjadi apa apa.
**********
Tuan Morgan yang luput dari kematian saat menenggak Chivas yang disodorkan Keira pun tak kalah geram. Ia berusaha mencari dan melacak keberadaan perempuan itu lewat beberapa kenalan. Entah, apa yang telah ia rencanakan selanjutnya, tak ada yang tahu pasti. Namun hingga saat ini, pencarian itu belum membuahkan hasil yang memuaskan. Sudah berapa banyak dana yang ia keluarkan untuk itu, Tuan Morgan tak menghitungnya lagi.
Tak ada yang tahu, siapa yang memanfaatkan siapa. Kebutaan yang diderita Tuan Morgan makin menambah daftar siksaan baginya. Tentu saja, karena ia tak bisa membaca air muka orang orang suruhannya ataupun kenalan yang mengajukan diri untuk membantunya.
Entah, membanjirnya dana itu betul betul untuk mencari, ataukah mereka sedang memanfaatkan Tuan Morgan sebagai tambang emas? Siapa yang perduli??
*********
Kini Keira hidup tenang bersama Mbok Rah. Suasana pedesaan yang asri, tenang, alami dan segar membuat wajahnya berseri seri. Entah sudah berapa pria yang berminat menjadikannya isteri, tetapi Keira belum mau membuka hatinya lagi. Trauma masa lalu sangat mempengaruhi jiwanya, membuatnya tak bisa percaya lagi pada niat baik laki laki.
Mbok Rah terbaring tak berdaya di hadapannya. Dokter yang memeriksanya menggeleng lemah. Ia menyarankan Mbok Rah dibawa ke rumah sakit di kota yang lebih lengkap peralatannya.
“Noon…..” tangan Mbok Rah menggapai bahunya.
“Yaa, Mbok. Kei di sini…”.
Ia mengangguk angguk mendengar bisikan wanita tua itu. Tanpa disadarinya, air matanya meleleh membasahi pipi.
“Kematian itu rahasia Tuhan, tak ada yang tahu kapan dan dimana seseorang itu akan menemui malaikat yang menjemput nyawanya. Jangan menunggu sampai nanti, saat semuanya sudah sangat terlambat. Kembalilah ke jalanNya, semoga Tuhan mengampuni dosa dosamu di masa lampau”……… pesan terakhir Mbok Rah.
Tinggallah Keira merenungi hari harinya, berusaha mewujudkan pesan wanita tua yang sangat mengasihinya itu. Kasih seorang ibu, meskipun bukan yang melahirkannya.
===tammat===
~~ seputaran Jakal 26 03 13 ~~
====%%%%%%%====
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H