Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Erina, Mencari Jejak Angin ~ Episode Tiga

15 Mei 2013   20:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:31 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Setelah berpamitan, Abi menggandengku masuk ke mobil. Tak sampai dua puluh menit berkendara, kami sudah sampai di rumah lagi.

KudapatiErina sedang duduk menggelosot di lantai, mukanya masam.

“Heeh, anak gadis nggak baik manyun sore sore….” Abi sengaja menggoda anak gadisnya. Ditowelnya pipi yang basah oleh keringat itu dengan gemas.

“Kemana aja siih, kok dikunciin….keburu haus nii…” gerutunya.

“Bukannya kau bawa kunci sendiri?” tanyaku keheranan.

“Enggak. Tadi pagi terburu buru berangkat….” jawabnya.

“Salah sendiri…..” Abi menjawab sambil berlari menjauh. Tangan Erina sudah teracung, siap siap mencubit ayahnya yang sejak tadi menggodanya.

~~~~~ oOo ~~~~~

Gaun biru tosca yang kujahit sejak dua hari lalu belum selesai kukerjakan. Entah kenapa kali ini aku sulit sekali berkonsentrasi. Biasanya aku mengerjakan jahitan gaun dalam sehari, tapi kali ini? Ada sesuatu yang membebani pikiranku akhir akhir ini, tapi apa?

“Maaa…..maaa…….”. Suara nyaring, melengking seperti anak kijang yang sedang berloncatan riang di taman kota menandakan kegembiraan di hatinya terdengar memecah kesunyian. Erina.

Dikejauhan kulihatanak gadisku melambai lambaikan sebendel kertas sambil berlari lari ke arahku. Tas selempangnya bergoyang goyang ke kiri dan ke kanan. Derap kakinya seolah olah hendak meruntuhkan dinding rumah. Meskipun sudah lulus kuliah dan bekerja, tetapi tingkah Erina masih seperti anak kecil saja kalau sudah di rumah.

Sangat jauh berbeda dibandingkan tingkahnya bila sedang berada di kantor. Ia tampil sangat dewasa, bertanggung jawab dan dapat diandalkan oleh teman temannya.

“Maa…..aku terpilih …..aku ikut dikirim ke Singapura…..” jeritnya kegirangan.

“Ini ….ini surat pemberitahuan dari kantor yang kuterima siang tadi….”. Dengan penuh semangat ditunjukkannya bendel surat itu ke hadapanku. Matanya bersinar sinar, senyumnya mengembang memperlihatkan lesung pipinya.

“Ini kejutan yang kau maksudkan siang tadi?” Erina mengangguk cepat cepat.

Kutoleh wajahnya yang memerah karena kepanasan. Butir keringat berlelehan di keningnya, anak anak rambut lengket ke tengkuknya yang basah. Entah dari mana ia mulai berlari lari tadi, biasanya ia akanmelangkah dengan tenang saat memasuki halaman, tidak terburu buru seperti itu.

“Kau pulang dengan siapa? Trus sepeda motormu, mana?” tanyaku khawatir. Bukankah tadi pagi dia pergi mengendarai sepeda motor?

“Adduuuhhh….lupa ma. Tadi aku keluar sama Rinto, lalu sekalian diantar pulang. Yaaah, ketinggalan deh” jawabnya.

“Bentar. Aku telepon pak Jarwo. Biar motornya di masukkan ke garasi”.

Sesaat, Erina mencoba mengatur nafasnya, dadanya kembang kempis turun naik tak beraturan. Ia terlalu gembira rupanya hingga melupakan kebiasaannya bila pulang ke rumah. Ia sibuk memencet tombol di hapenya, lalu terdengar suaranya meminta tolong pada penjaga malam di kantornya dengan lembut.

“Terima kasih ya pak, maaf sudah merepotkan….”.

Sejak kecil mereka kubiasakan untuk berkata lembut dan santun saat meminta tolong. Juga ucapan maaf dan terima kasih, kepada siapapun itu setiap kali selesai melakukan sesuatu. Entah itu tukang parkir, pak Ogah di putaran jalan, tukang koran……

Penghargaan terhadap hasil kerja seseorang tidak harus diwujudkan dalam bentuk materi, bukan? Ucapan yang tulus dari hati, senyum yang tidak dibuat buat sudah menjadi pengobat lelah mereka. Hal yang mudah dilakukan, namun ternyata belum semua orang ikhlas menjalankannya.

Segelas air dingin yang kusodorkan dihabiskannya dalam sekali teguk.

“Kebiasaan …. Pelan pelan minumnya. Ingat apa kata pak ustadz tempo hari? Minum itu tiga teguk…ambil nafas sebentar,lalu minum lagi tiga teguk……ambil nafas lagi, Nggak baik terburu buru begitu. Nanti tersedak”.

“Haus banget ma…..” Erina menjawab sambil menyeka bibirnya dengan punggung tangan. Ia pun terbatuk batuk.

“Nah. Apa kata mama. Baru juga dibilangin”.

Erina masih terbungkuk bungkuk sambil berdehem, berusaha mengeluarkan air yang salah masuk ke saluran pernafasannya.

“Makanya…siapa suruh kau lari lari macam kijang lepas dari kandang begitu?”.

“Ingin segera beritahu mama…” katanya jenaka. Dipamerkannya senyum termanisnya, keringat masih berlelehan di keningnya.

Bendel itu diletakkannya di atas gaun yang sedang kujahit. “Mama harus baca yang ini….” telunjuknya mengarahkan pandanganku pada bagian tengah surat pemberitahuan itu. Mataku mengikuti arah jarinya.

~~~~~ o 3 o ~~~~~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun