Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Desa Rangkat Kompasianival] Ketika Jingga Menyihir Pemirsa

17 November 2012   13:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:10 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13531577781618977854

Sabtu siang, hujan yang turun rintik rintik membuatku enggan beranjak, namun keriuhan warga desa yang berbondong bonding menuju ke Balai Desa Rangkat membuatku penasaran. Sambil melongok ke luar jendela aku membatin “ ada apa ini?”

Sekar, mas Hans, Dorma……lalu Elhida, Zaa, Ningwang…..ada juga mas Ibay, Yulia, pak Arifin…..jeng Selsa, jeng Asih, Hanna, mas Hakim, pak Yayok…..tak ketinggalan kakek Astoka …….

Geremeng suara mereka menggaung ke seantero desa. Listrik yang sedang ‘oglangan’ alias giliran mati, membuat suasana desa menjadi sepi.

Dari arah Balai Desa, sayup terdengar gemuruh suara genset yang dipasang mas Hans pagi tadi, membuatku makin penasaran. Saat kuinjakkan kaki di Balai Desa, terlihat mas Hans sedang menggotong sebuah meja panjang dibantu kang Inin, sementara Elhida sibuk dengan kabel dan stop kontak yang berserakan di sekelilingnya. “apa yang sedang mereka kerjakan?”

“nang….kalian mau ngapain sii?” tanyaku pada Elhida. Dia hanya menoleh sebentar, lalu sibuk kembali dengan peralatannya.

“ini anak…..ditanyain malah…..”

Riuh rendah suara warga yang seperti kawanan tawon berangsur angsur diam. Layar monitor menampilkan tayangan live streaming acara Kompasianival 2012 di Gandaria City Jakarta Selatan. Semua terdiam saat Jingga membaca puisi. Intonasinya mampu menyihir warga untuk menyimak dari awal hingga akhir. Bahkan hingga Jingga menyelesaikan kalimatnya, semua masih terpana.

[caption id="attachment_224118" align="aligncenter" width="300" caption="dok El Fietry/desa rangkat"][/caption]

Pada rimbunnya belantara aksara

Pada tiap bait imajinasi bermakna

Dan pada sekat spasi kata-kata

Aku menemukan cinta itu memang ada

Mengalir jernih pada aliran diksi

Dan bermuara pada lantunan fiksi

Tumbuh subur di ladang-ladang hamparan puisi

Dan bermekaran pada petak-petak narasi Pujangga kata.

Rangkaian kata bertutur cinta, bersapa empati, dan berwujud peduli

Adalah awal dari eksistensi kita

Sapa bersahut dan tutur saling berpagut

Menggoda rindu untuk terus bergelayut

Saling bercerita tentang sederhananya cinta

Saling berbagi tentang rasa yang kita punya

Disana, di lembah fiksi sebuah desa maya

Di kaki gunung Naras di ujung sana

Dalam tiap episode Rangkat Cinta Sederhana.

(Epilog Cinta Sederhana , Puisi Oleh : Hans Rangkat)

Diam diam Dorma menyusut air matanya. Ningwang yang duduk di sebelahku menyodorkan sekotak tissue, dan berbisik“bund…..jangan sedih. Selalu ada waktu terbaik untuk kita hingga bisa berkumpul kembali….”

Aku makin sedih, ingat saat berkumpul di Bandung bulan lalu. Kupeluk Ningwang, dan Dorma yang menubrukku makin membuat suasana Balai Desa muram.

“bund…setidaknya kita bisa melihat dan ikut merasakan kemeriahannya, meski hanya lewat monitor…..” mas Hans mendekat dan menghiburku.

“iya mas, tapi bunda makin kangen dengan mereka…..”

Tiba tiba kang Inin berteriak….” Itu…itu….neng Aya…..neng Aya pakai kebaya….”

Mas Hans tersenyum lebar. “berarti besok kita bisa ke penghulu…..” gumamnya.

“aapaaaa??” kang Inin terlonjak kaget.

===%%%%%===

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun