Seringkah anda bepergian dengan mengendarai motor berdua dengan suami? Tentu pertanyaan ini tak berlaku bagi mereka yang "baru" memiliki sepeda motor saja, belum mempunyai mobil. Saya salah satunya....hahahaha, jujur banget.
Banyak kejadian lucu yang bisa kita temui saat mengendarai motor. Angin yang menerpa wajah bila kita berkendara pelan-pelan, seperti elusan tangan malaikat mungil --hayyaahh-- anak anak kecil yang tanpa dosa. Beberapa tahun terakhir kami memang sengaja mengendarai motor pelan-pelan. Bukan kenapa kenapa, lebih karena faktor umur saja. Semakin tua, rasanya hati ini semakin was was saja kalau memacu motor di jalanan.
Apalagi, suasana jalanan di kota Jogjakarta sudah berubah banyak bila dibandingkan beberapa tahun yang lalu. Kurangnya moda angkutan kota yang memadai untuk menjangkau setiap sudut kota, kemudahan mendapatkan kredit kendaraan bermotor dan juga akibat banyaknya mahasiswa yang menempuh pendidikan di kota pelajar ini menyebabkan beberapa ruas jalanan di Jogjakarta hampir mirip suasana di beberapa kota besar lainnya. Macet di saat jam-jam sibuk, bertambahnya polusi udara yang menyesakkan dada dan waktu tempuh yang bertambah lama untuk jarak yang tidak terlampau jauh.
Menyebalkan? Kadang kadang iya. Apalagi saat kita sedang terburu-buru untuk menghadiri suatu acara, atau takut terlambat sampai di tempat kerja misalnya. Tapi inilah problem yang dihadapi oleh hampir sebagian besar kota.
Pengalaman lucu yang saya alami tadi malam mungkin saja pernah dialami oleh mereka yang mengendarai motor. Pulang dari rumah kakak di daerah Jalan Godean, hujan baru saja reda. Saya dan kakang bojo segera melaju meskipun dengan rasa khawatir kalau kehujanan di jalan. Betul saja. Baru saja berbelok ke arah Jalan Magelang, tiba-tiba hujan cukup lebat menyambut kami.
Tanpa pikir panjang, kakang bojo segera meminggirkan sepeda motornya. Ia segera membuka jok motor, mengeluarkan jas hujan dan meminta saya mengenakannya. Sementara kakang bojo? Ia memilih menggunakan jaket tebalnya saja, membiarkan jaket itu basah tertimpa hujan.
Berhubung kakang bojo berhenti di sebelah lapak penjual bensin eceran, ibu si pemilik lapak dengan sigap meraih botol berisi bensin dan torong-corong untuk menuang bensin ke tangki. Dengan perasaan malu dan nggak enak saya menoleh ke arah ibu itu dan berkata perlahan-lebih tepatnya berbisik- "bu, kami tidak membutuhkan bensin"...... Muka saya terasa panas, untung suasana di sekitar kami berhenti itu tidak terlalu terang cahayanya. Mungkin wajah saya sudah kelihatan merah padam menahan rasa tidak enak itu. Haduuuhhh, gimanaaa gitu. Dalam hati saya menyesali keputusan kakang bojo yang asal berhenti, tidak melihat suasana dimana kita menghentikan kendaraan.
Selesai mengenakan jas hujan dan membetulkan helm, saya beserta kakang bojo segera melaju meninggalkan ibu pemilik lapak bensin eceran. Masih terdengar gelak tawa dari beberapa remaja yang duduk di sebelah lapak si ibu. Mereka mentertawakan kami, mungkin. Atau bahkan mentertawakan si ibu yang sigap meraih botol bensinnya. Entahlaaahh....
=====%%%%%%%=====
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H