Mohon tunggu...
Enggar Murdiasih
Enggar Murdiasih Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu Rumah Tangga

penggemar fiksi, mencoba menuliskannya dengan hati

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Itung-itungan ala Mak: Cara Menentukan Pilihan Sekolah Lanjutan

4 Mei 2014   02:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:54 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu bandingkan (lagi) dengan nilai raport anak. Berapa selisihnya? Besar kecilnya selisih ini lah yang kita pakai untuk menentukan gaya belajar anak kita di kelas V.

Balik lagi....bila kekurangan nilainya sedikit, anak tak perlu susah payah mengikuti segala macam bimbingan belajar, les privat atau pun pelajaran tambahan di sekolah. Biarkan anak menikmati waktu luangnya dengan bermain, mengerjakan hobinya atau kesenangan lain yang disukainya. Menggambar, nonton kartun, berenang, naik sepeda keliling kampung atau pun kegiatan lain. Tentu tak bijaksana kalau kita merampas masa bermainnya hanya demi memenuhi ambisi kita akan nilai terbaik.

Menginjak ke kelas VI, baru kita 'menyingsingkan lengan baju'. Dari dua tabel berbeda yang kita miliki kita sudah bisa mengira-ira kemana anak kita harus mendaftar. Sistem RTO di Kotamadya Jogjakarta memungkinkan siswa didik memilih 3 sekolah tujuan, 2 sekolah negeri dan 1 sekolah swasta. Disini kita diharuskan pintar pintar memilih. Kalau anak kita tidak diterima di sekolah pilihan ke-1, secara otomatis anak akan terlempar ke sekolah pilihan ke-2, dan atau terlempar ke sekolah pilihan ke-3.

Pastikan bahwa nilai anak kita berada dalam posisi aman di sekolah pilihan ke-1 kalau tidak ingin anak terlempar ke pilihan ke-2 atau ke-3. Jadi, berpikir masak-masak sebelum menentukan pilihan. Tetap lilbatkan anak dalam penentuan ini, karena dia lah yang akan menjalani pilihan ini. Bukan kita.

Selama duduk di bangku kelas VI, usahakan agar anak berada dalam kondisi prima. Hindarkan pertengkaran sesama anggota keluarga yang tak perlu, tekanan, perintah, bentakan atau pun hardikan yang bisa melemahkan semangat dan mood belajar anak. Jangan lupa untuk mengajaknya beribadah sesuai keyakinan kita, untuk memohon kemudahan dan pertolongan dariNya. Beberapa keluarga bahkan ada yang mengajak anak untuk berpuasa Senin Kamis...... selain mengajarkan kesederhanaan, puasa sunah ini diyakini bisa memuluskan jalan untuk menggapai cita-cita. Wallahu'alam.

Naah.......tibalah saat Ujian Nasional. Saya tak pernah meminta anak untuk mendapatkan nilai terbaik, tetapi selalu menekankan hasil maksimal sesuai kemampuan anak. Bila ia hanya mampu mendapat nilai 7, tentu tak bijak bila kita mengharuskan anak mendapatkan nilai 9 misalnya..... Biarkan anak menempuh ujiannya dengan tenang, bekali dengan sarapan yang disukainya, besarkan hatinya, beri semangat agar anak mengerjakan soal ujiannya dengan tenang. Tentu saja, doa dari kedua orang tua sebagai support spiritual tak boleh dilupakan.

Sambil menunggu pengumuman Nilai Ujian Nasional, kita bisa sedikit berlega hati. Setidaknya, kita sudah mulai mempersiapkan anak untuk menuju ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi jauh jauh hari. Menurut pengalaman saya, hal ini jauh lebih bermanfaat daripada membebani anak yang duduk di bangku klas VI dengan les  privat, tambahan jam belajar, bimbingan belajar selama seminggu penuh sepanjang tahun.

Tanpa kita sadari, kita telah merampas kegembiraannya, keceriaannya, masa 'bocah'nya dan memberinya tekanan bertubi-tubi. Bukan tidak mungkin, anak akan stress berkepanjangan hingga nilai Ujian Nasional yang digadang-gadang akan terbang entah kemana.

Naah, itu saja. Berdasar pengalaman saya, anak bungsu bisa mencapai target yang kita tetapkan bersama sejak awal. Tak ada rasa keterpaksaan atau pun keengganan dari pihak anak, dan kita sebagai orang tua tinggal memantau perkembangan anak. Tentu saja, jangan lupakan support dan bimbingan kita sebagai orang tua. Apa itu?

Mudah dan sederhana sebenarnya, tetapi belum tentu setiap orang rela melakukannya.

Salah satu contohnya: matikan televisi pada saat anak kita sedang sibuk belajar. Meskipun anak belajar di kamarnya dan kita menonton di ruang keluarga, tetapi itu sangat 'njomplang'....... Anak butuh contoh nyata, bukan hanya kata-kata yang tanpa bukti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun