Menyuguhkan pertunjukan drama memang jauh lebih rumit dibanding dengan menciptakan karya sastra tulis. Drama terdiri atas kompeksitas seni peran, musik, vokal, dan desain. Ketimpangan salah satu unsur akan mengakibatkan kefatalan keseluruhan unsur yang lain karena pada dasarnya 1 komponen tidak dapat lepas dari komponen yang lain. Tak lepas dari hal itu, pengemasan drama dengan substansi tertentu harus dilandasi dengan konsep yang matang. Totalitas aktor di atas panggung menentukan nilai pertunjukan.
Mesti tak sempat menyaksikan ketujuh drama berbahasa Inggris di Universitas PGRI Semarang Rabu malam (7/12) kemarin, dua lakon di pengujung acara cukup mengenyangkan dan memanjakan mata. Rentetan pertunjukan yang mementaskan 7 lakon drama ini dipentaskan di GP 7 Kampus Universitas PGRI Semarang yang beralamat di Jl. Sidodadi Timur No. 24 sejak pukul 07.00 hingga 22.00 WIB. “Meski drama berbahasa Inggris ini dipentaskan guna memenuhi kewajiban mahasiswa PBI Semester 7 untuk penilaian ujian akhir semester, namun berhasil mengundang lebih dari 500 penonton karena dibuka untuk umum,” tutur salah satu panitia.
Tujuh drama yang dipentaskan oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris ini kesemuanya bertema misteri. Namun, pada kenyataannya penonton lebih banyak mendapatkan lelucon dan dipaksa tersenyum dengan jogetan lucu yang diiringi musik menghebohkan. Pada lakon berjudul The Romanian Uranium misalnya. Drama ini diawali dengan adegan keras yang seolah ingin menggiring alur cerita pada konfliks yang panas. Didukung pula dengan aktor yang muncul dengan dialog ketus dan tajam. Ketika penonton sedang asyik menyerap konsep awal cerita dan bersiap-siap dengan adrenalin yang hampir memuncak, pentas justru mengejutkan konsentrasi penonton dengan kemunculan tokoh lucu diiringi adegan musikalisasi yang humoris. Bahkan, hampir keseluruhan tokoh mempunyai potensi untuk menciptakan komedi. Maka, lakon ini lebih terkesan sebagai drama komedi daripada drama misteri.
Iringan Musik
Tak berbeda dengan unsur komedi yang “berlebihan”, lakon ini juga didominasi dengan iringan musik. Kadang, musik yang muncul di tengah adegan datang tiba-tiba. Musik digunakan pula sebagai break moving. Adegan yang hampir mencapai klimaks dengan sense yang tinggi mereka “tampar” dengan musik yang “meramaikan” tanpa maksud dan fungsi yang jelas.
Kesemuanya tampak jelas sebagai usaha untuk menarik perhatian penonton. Penonton tertawa terpingkal-pingkal namun tak urung mengernyitkan dahi seolah pusing dengan alur pementasan. Maka, meski perhatian penonton tersita, namun banyal hal yang luput; konsep cerita, intensitas, dan totalitas. Tiga unsur penting yang terabaikan.
Seting yang Sia-Sia
Setting menjadi pijakan utama aktor. Begitu pula karena setting yang pertama kali dilihat oleh penonton. Setting pula yang menggantarkan alur. Karenanya, setting tak melulu penghias panggung. Penggantian setting lebih dari 4 kali dengan penataan yang tergesa danlighting yang mati-hidup tentu akan sangat mengganggu kenikmatan penonton, memecah konsentrasi, dan menciptakan ruang kosong dengan jeda yang menjemukan. Hal ini akan terjadi meski perhatian penonton dialihkan dengan bunyi musik dan pemadaman lighting karena sesungguhnya setting panggunglah pusat pandangan penonton.
Namun, kecantikan artistik berbagai properti yang mereka tampilkan cukup mengobati kejemuan penonton. Properti dengan rancangan desain yang tak sepele serta bahan yang tak seadanya sangat memanjakan mata penonton. Hal ini tentu akan semakin megah bila fasilitas lighting yang ada di gedung pertunjukan dimanfaatkan dengan baik. Dalam lakon The Room misalnya, desain properti yang demikian artistik hanya ditimpa dengan lighting yang menyorot satu arah saja. Amat disayangkan.
Peran Pendukung yang Tak Termanfaatkan
Banyak peran pendukung tak tak tereksplor. Keberadaannya di atas panggung seolah hanya nggenepi. Hal tersebut sebenarnya bisa disiasati dengan kontak fisik antara peran pendukung dengan aktor utama meskipun peran pendukung hanya berfungsi sebagai lukisan dalam bingkai atau pohon di tepi pantai. Hal ini akan lebih menghidupkan suasana panggung tentunya.
Dialog Bahasa Inggris yang Fasih
Tak lepas dari beberapan plus minus pertunjukan, drama tujuh lakon yang dipentaskan cukup memukau karena semua aktor mampu melafalkan dialog berbahasa Inggris dengan sangat lancar. Niai tambah yang menjadi modal kuat dan tak dapat disepelekan. Penonton tidak akan kesulitan menyimak dan tak terganggu dengan ejaan yang belepotan. Andai saja para aktor memiih untuk melepas alat bantu elektronik dan mengandalkan napas mereka, mungkin pertunjukan akan semakin memukau. Tampaknya para aktor belum menyadari jika latihan vokal adalah modal dasar pemeran drama.
Seno Gumira Ajidharma mengatakan bahwa seorang kreator tak akan dapat menciptakan karya-karya yang bermutu tanpa proses kreatif yang panjang. Proses kreatif yang sesungguhnya tak pernah luput dari kegagalan-kegagalan yang indah. Para pemeran pemula ini telah maksimal mengaplikasikan teori sekaligus praktik di atas pentas. Mereka sanggup menampilkan lakon yang utuh hanya dengan meniti proses penggarapan selama 2 bulan. Suatu prestasi yang bisa disebut membanggakan. Dan minus mereka, mungkin inilah yang disebut dengan kegagalan yang indah. Nah... teruslah berkarya. Salam budaya.
[caption id="attachment_389760" align="aligncenter" width="448" caption="Pertunjukan Lakon The Room"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H