Mohon tunggu...
Engel Barus
Engel Barus Mohon Tunggu... Mahasiswa - ᴮᵉˡᵃʲᵃʳ ˢᵉᵖᵃⁿʲᵃⁿᵍ ʰⁱᵈᵘᵖ

Waktu tidak bisa diulang Tapi kesalahan bisa jadi pembelajaran

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ikatan Sastra serta Filsafat

20 Maret 2022   12:13 Diperbarui: 20 Maret 2022   12:34 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara simpel Eksistensi sastra tidak terlepas dari kehidupan manusia tiap hari. Perihal tersebut sebab manusia bisa jadi subjek sekalian objek dalam suatu sastra. Sebaliknya filsafat merupakan ilmu yang mangulas seluruh fenomena yang terdapat dalam kehidupan dan pemikiran manusia secara skeptis serta bertabiat kritis.

Pertanyaannya, apa ikatan sastra serta filsafat?

Selaku contoh, novel Da Vinci Code yang beberapa waktu lalu pernah jadi novel terlaris di dunia nyatanya membagikan dampak untuk warga tertentu, terdapat suatu cerita nyata: suatu kali di suatu Negeri bagian Amerika terdapat seseorang kepala keluarga yang mempunyai 3 orang anak. Sehabis membaca novel itu kemudian dia menyuruh anak serta keluarganya buat pindah agama. Selidik demi selidik nyatanya ayah itu saat sebelum membaca novel itu menghadapi stress berat akibat perusahaannya collapse serta dia memutuskan buat melaksanakan perihal tersebut. Novel itu sudah pengaruhi ayah itu, dia memandang novel itu selaku novel sejarah yang mempunyai nilai kebenaran yang mutlak, sementara itu novel tetaplah novel.

Sastra serta filsafat ialah suatu yang berdampingan serta saling memenuhi. Dimana sastra sama-sama mebicarakan dunia manusia. Demikian pula filsafat menekankan pada usaha buat mempertanyakan serta hakikat keberadaan manusia. Bila dilihat dua disiplin ilmu ini mempunyai objek yang sama ialah manusia. Secara asasi, baik karya sastra ataupun filsafat, sesungguhnya ialah refleksi pengarang atas keberadaan manusia. Cuma, bila karya sastra ialah refleksi evaluatif, hingga filsafat ialah refleksi kritis. Apa yang diungkapkan filsafat merupakan catatan kritis yang awal serta kesimpulannya diisyarati dengan persoalan radikal yang menyangkut hakikat serta keberadaan manusia.

Sesungguhnya buat masalah hubungan sastra serta filsafat bukanlah permasalahan baru. Semenjak manusia memahami cerita- cerita mitologis, semenjak itu pula sebetulnya ikatan sastra dengan filsafat dalam penafsiran yang lebih luas susah dipisahkan. Semacam halnya cerita klasik semacam Mahabharata, Ramayana, karya sastra ataupun karya filsafat; karya filsafat yang disuguhkan dalam wujud karya sastra dan karya sastra yang berisi ajaran-ajaran filsafat.

Di dunia Barat, pula telah semenjak lama mitologi Yunani klasik jadi sumber ilham yang tidak sempat habis- habisnya digali, baik buat bidang filsafat, ataupun sastra. Apalagi sampai saat ini tidak sedikit sastrawan di situ yang muat semacam karya transformasi yang bersumber dari mitologi Yunani itu. Dalam perkembangannya setelah itu, sejalan dengan timbulnya bermacam berbagai aliran filsafat (Barat), timbul pula beberapa filsuf yang mengantarkan gagasan filsafatnya melalui karya sastra. Dalam perihal ini, karya sastra dijadikan selaku “perlengkapan” buat mengukuhkan gagasan filsafat yang hendak disampaikannya.

Semata-mata menyebut sebagian di antara lain, cek misalnya karya- karya Vol- taire (1694- 1778). Melalui novel- novelnya, L’ Ingenu (Sang Lugu), Candide, serta Zadig, Voltaire secara satiris hendak mengejek filsafat Leibniz (1646- 1716), paling utama yang menyangkut filsafat deisme. Begitu pula Friedrich Nietzsche (1844- 1900) melalui The Spoke Zarathustra- nya, menunjukkan tokoh Zarathustra selaku simbol manusia ung- gul (uebermensch) yang dicita- citakan Nietzsche supaya mendapatkan kebebasan absolut. Dalam dunia filsafat, dia ditatap selaku filsuf eksistensialisme yang sangat radikal.

Tokoh lain yang dikira selaku penganjur filsafat eksistensialisme yang pula mengantarkan gagasan filsafatnya melalui karya sastra, antara lain Albert Camus (1913- 1960) serta Jean Paul Sartre (1905- 1980). Gagasan filsafat eksistensialisme yang disam- paikan Sartre ada pada karya- karya berartinya yang berbentuk novel, antara lain, La Nausee (Rasa Muak) serta Les Chemins de la Liberte (Jalan- jalan Kebebasan), dan karya drama Les Mouches (Lalat- lalat) serta Huis Clos (Pintu- pintu tertutup).

Perihal yang sama pula dicoba Albert Camus. Betapapun Camus sesungguhnya lebih diketahui selaku sastrawan daripada filsuf, melalui La Peste (Sampar) serta L’ Etranger (Orang Asing), dia pula bermaksud mempertegas cerminan dirinya selaku wujud eksistensialis dalam berhadapan dengan kehidupan yang absurd.

Dalam filsafat islam, di samping tokoh- tokoh yang diucap terdahulu, Mohammad Iqbal (1873- 1938) pula diketahui selaku tokoh pemikir (: filsuf) Islam yang salah satu karya filsafatnya ditulis dalam wujud puisi. Lewat puisi- puisi Parsi- nya yang panjang, sebagaimana yang tertuang dalam magnum opus-nya yang monumental, Javid Namah, Iqbal mengantarkan kritik pedasnya terhadap filsafat Barat serta pemi-kiran Islam tradisional. Di samping itu pula, dia pula menekankan berartinya progresi-vitas dalam perilaku serta pemikiran generasi muda Islam. Dalam perihal seperti itu, pengembaraan rasio buat memperkukuh keimanan Islami, absolut ditumbuhkembangkan.

Tentulah kita masih bisa menyebut beberapa karya sastra yang lain yang secara tematik memperlihatkan gagasan filsafat tertentu yang dianut ataupun yang terencana disodorkan pengarangnya. Perihal tersebut tidak cuma mempertegas, betapa sastra serta filsafat begitu erat hubungannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun