Gencarnya pewacanaan kampus merdeka yang diaplikasikan dalam bentuk-bentuk yang lebih kongkrit kini sudah mulai dapat dinikmati sejumlah pembelajar. Melalui berbagai program kampus merdeka, mahasiswa mencoba menyelami realitas-realitas baru yang mungkin suatu saat nanti akan menjadi salah satu langkah positif dalam menapaki karir kehidupan sebagai seorang sarjana.
Kampus merdeka seperti setetes air di padang gersang out put pendidikan, keluhan para pelaku usaha dan industri yang merasa kecewa bahwa rekrutmen tenaga terlatih atau tenaga sarjana yang diharapkan menjadi pioneer kemajuan companynya seperti hanya mimpi, karena hampir didapati kebanyakan  lulusan perguruan tinggi tidak mampu menjadi seorang tenaga ahli dibidangnya.
Idealime pendidikan menjadi semacam keraguan atau ketanggungan persepsi, secara ideal para lulusan tidak mampu menerapkan keilmuan yang dipelajari di bangku kuliah pada tingkat aktualisasi disiplin ilmu. Realitasnya para sarjana tidak mampu menerapkan disiplin ilmu yang dipelajari pada bidang pekerjaan disebabkan terlalu jauh standar ideal dengan realitas lapangan, sehingga nyaris ilmu pengetahuan yang dipelajari selama sekolah tidak dapat direalisasikan atau diterapkan.
Contoh kongkrit standardisasi yang tinggi  tentang idealisme  pendidikan adalah, siswa belajar di sekolah tentang rumus-rumus yang rumit, teori-teori klasik yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kehidupan yang ada. Para sarjana yang mempelajari berbagai pengetahuan, bahkan kerja keras untuk mendapatkan prestasi yang  baik, tetapi saat bekerja ilmu pengetahuan yang telah dipelajari hampir sama sekali tidak beguna. Bahkan mereka harus belajar dari awal lagi, dan yang miris mereka melakukan pekerjaan yang berulang-ulang dan sama. Para sarjana menjadi robot-robot bernyawa di dalam sistem, akal pikiannya menjadi stuck dan tidak ada lagi critical thinking. Padahal pengulangan-pengulangan  dapat dilakukan oleh Artificial Intelligence, dengan lebih cepat dan lebih sempurna.
Ada kecurigaan bahwa  sistem pendidikan kita melupakan bahwa sisi idelaisme pendidikan memiliki paradigma ideal yang memiliki sudut pandang yang dapat digunakan untuk memahami, menganalisa, dan memprediksi berbagai peristiwa atau fenomena yang terjadi disekeliling kita, baik peristiwa itu telah terjadi, sedang terjadi atau belum terjadi. Kelemahan sisi ideal pendidikan kita adalah para pembelajar menjadi mesin fotocopy yang diwajibkan menghafal berbagai pengetahuan namun lemah dalam pemahaman, analisis bahkan kurang mampu membuat antithesis.
Nilai-nilai idealisme mengalami pergeseran dari filsafat yang memandang bahwa mental dan ideasional sebagai kunci menuju hakikat realitas. Namun faktanya sistem pendidikan kita menerapkan idealisme pendidikan adalah memaksa para pembelajar menjadi mesin rekam. Sedangkan kehidupan yang ada diluar sistem pendidikan adalah memerlukan individu yang relatif mampu beradaftasi dengan sistem sosial  yang terus berubah.
Sedangkan sisi pragmatisme pendidikan adalah realitas yang tidak tetap, Â terus berubah sesuai dengan perrkembangan zaman. Â Sebagai seorang empiris
Jhon Dewey  menyatakan bahwa  setiap sekolah adalah embrio kehidupan masyarakat yang aktif.  Secara pragmatis pendidikan bergerak sesuai dengan iklim perubahan sistem sosial. Setiap zaman memiliki kemajuan tang ditandai dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Pragmatisme pendidikan sejatinya mampu membekali para pembelajar dengan kemampuan adaftasi yang tinggi. Sehingga saat negara mengalami digitalisasi maka secara otomatis kemampaun hard skill dan soft skill individu bergerak.
Nilai-nilai pragmatisme yang ingin dicapai pada kampus merdeka merupakan suatu keniscayaan.  Kampus merdeka berupaya menekan tingginya gap idelitas pendidikan dengan  kebutuhan lapangan. Dan yang harus menjadi catatan besar adalah para manusia terdidik berperan sebagai pioneer pembaharu perubahan zaman  bukan menjadi budak industri. Karena budak industri tidak merubah apapun kecuali serapan tenaga kasar pada sistem industri kita dan para sarjana mau tak mau berada dalam situasi berat dan tidak menguntungkan lalu berperan seperti robot AI.
Makna pragmatisme pendidikan adalah pendidikan harus mampu menghasilkan individu-individu yang memiliki kemampuan beradaptasi yang tinggi baik secara sosiologis maupun secara biologis. Dengan kemampuan itulah  setiap individu pembelajar mampu memerankan  peran dan fungsinya, mampu mengisi ruang-ruang kosong dan memfungsikan diri di dalam lingkungan dan alam yang membentuknya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H