“Saya sendiri ngga tahu mas, kenapa saya bisa suka dengan sesama jenis. Perasaan itu muncul begitu saja,” ujar salah satu wanita yang datang untuk berkonsultasi. Hal yang hampir sama juga disampaikan beberapa pria, juga dengan oerientasi seksual yang menurut norma agama dianggap menyimpang.
Muncul dengan sendirinya, tanpa ada keinginan. Hal itulah yang terkadang dianggap pengidap lesbian, gay, biseks, dan transgender (LGBT) sebagai sesuatu yang alamiah. Mereka pun mengambil langkah menjalani saja hal itu, dan berusaha menutupi keadaan yang ada serapi mungkin.
Namun faktanya, ada bagian diri dari setiap pelaku LGBT yang merasa tidak nyaman dengan kondisi tersebut. Di satu sisi, ingin kembali normal seperti orang lain, namun ada bagian diri lainnya yang tidak mendukung, tidak ingin lepas dari kondisi tersebut. Konflik internal dari diri sendiri itulah yang membuat mereka menjadi semakin bingung dan kacau.
Dulu, ketika saya belum memahami teknologi pikiran, saya pun menganggap rekan atau sahabat yang orientasi seksnya menyimpang ini sebagai sesuatu yang tidak bisa dinormalkan kembali. Kenapa? Karena memang tidak tahu caranya. Setelah mengetahui, akhirnya saya bisa memahami.
Tak ada asap, jika tidak ada api. Tak mungkin bisa jadi LGBT jika tidak ada penyebabnya. Sebagian besar perilaku kurang pas ini sebenarnya berasal dari kejadian masa lalu dengan muatan emosi tertentu. Kejadian awal ini kemudian diperkuat dengan beberapa kejadian berikutnya sehingga akan semakin meningkatkan intensitas emosi tertentu terkait LGBT tadi.
Secara sadar, pelaku LGBT memang tidak akan tahu apa penyebab awalnya hingga bisa menjalani orientasi seks yang berbeda. Sebab, akar masalah umumnya sudah terkubur cukup dalam di pikiran bawah sadar. Karena itu, meski seseorang berusaha menggali penyebabnya di masa lalu, tidak mudah dilakukan karena akar masalahnya sudah tersembunyi. Diperlukan teknik khusus untuk bisa menggali kembali akar masalahnya.
Ibarat bola salju, emosi yang memunculkan perasaan menjadi LGBT ini akan semakin membesar dan menguat. Untuk itu, diperlukan upaya dan usaha sangat kuat untuk menghentikan efek bola salju yang menggelinding begitu cepat.
“Saya sudah berusaha kembali normal. Tapi kadang-kadang muncul lagi,” demikian sebut salah satu klien biseks kepada saya. Hal ini terjadi karena upaya untuk kembali normal belum menyentuh sampai akar masalah. Ibarat mencabut rumput, jika hanya dipotong rumputnya, kemungkinan akan tumbuh lagi. Beda jika akarnya dicabut, maka akan hilang permanen karena sudah ditarik sampai akarnya.
Tak terasa, hingga saat ini lebih dari 10 klien LGBT yang sudah menjalani proses terapi dan kembali menjalani kehidupan dengan normal dan tenang. Mereka pun tak menyangka, akar masalah yang menjadi penyebab terkadang dianggap sepele. Misalnya, ada klien pria yang biseks. Ternyata ketika kecil seringkali dihajar oleh ayahnya sendiri. Akibatnya, klien membutuhkan sosoh ayah yang bisa melindunginya. Itulah yang menyebabkan dia merasa nyaman setiap kali bersama pria yang lebih dewasa dari klien.
Begitu pula dengan klien lesbian, yang ternyata akar masalahnya hanya karena sejak kecil memang sudah dalam kondisi broken home. Sejak kecil orang tuanya bercerai, klien wanita ini sesuai dengan keputusan pengadilan, harus diasuh ayahnya. Selama dalam pengasuhan ayahnya, ternyata klien lebih banyak diasuh oleh neneknya. Klien merasa sangat dimanja dan disayang, namun dia merasakan ada yang kurang, yaitu sentuhan seorang ibu. Neneknya hanya memenuhi kebutuhan dari sisi materi saja. Hal inilah yang menyebabkan klien akhirnya membutuhkan sentuhan dan belaian dari seorang wanita, hingga memunculkan perilaku lesbian.
Akar masalah yang ditemukan pada klien LGBT berbeda-beda dan sangat bervariasi. Selama ini, mereka bersemayam di pikiran bawah sadar. Jika tidak dicabut, maka akar masalah inilah yang terus mengendalikan kondisi pikiran sadar klien sehingga sulit melepas kebiasaan menyimpang tersebut.