Menulis di Kompasiana terbukti memiliki efek candu yang akut. Ragam tulisan yang disuguhkan Kompasianers, benar-benar memberikan tambahan wawasan bagi siapa saja, sesuai dengan minatnya masing-masing.
Berhubung saya menyukai dunia teknologi pikiran, maka saya pun mencoba memfokuskan diri menulis bidang ini. Meski memiliki latar belakang sebagai wartawan, saat berada di Kompasiana, yang aktif secara otomatis adalah bagian diri saya sebagai praktisi hipnoterapis berbasis teknologi pikiran.
Sebab, bagian diri saya yang wartawan sempat protes. “Wartawan dari grup Jawa Pos kok nulisnya di Kompasiana?” Bagian diri saya yang bijaksana pun memberikan pemahaman dan edukasi padanya. Ditegaskan oleh si bijaksana bahwa di Kompasiana, yang aktif adalah bagian diri yang memahami teknologi pikiran. Tujuannya apa? Agar semakin banyak pembaca yang memahami kehebatan pola pikirnya masing-masing. Lagi pula, toh di media tempat bekerja, juga tetap memuat tulisan-tulisan ini, jika memang cocok dengan isu lokal yang sedang terjadi.
Mendapat penjelasan tersebut, bagian diri yang wartawan pun mendukung dan siap membuat ulasan tentang teknologi pikiran lebih maksimal. Perasaan tidak nyaman saat menulis di Kompasiana pun seketika terlepas.
Sejak bergabung 21 Januari 2016 tahun lalu, tak terasa sudah lebih 100 artikel saya buat di tempat ini. Sebuah jumlah yang masih sangat sedikit dibanding Kompasianers lainnya. Awalnya sempat pesimis, khawatir tidak banyak pembaca yang mau menyimak kasus-kasus dari ruang hipnoterapi atau artikel terkait teknologi pikiran. Tapi ternyata, ada saja yang mampir dan memberikan komentar.
Nah, dari kolom komentar inilah yang belakangan tiba-tiba ada yang tidak nyaman. Apa itu? Apalagi kalau bukan iklan pembesar penis yang secara masif dan rutin melakukan penetrasi ke artikel-artikel yang dianggap banyak pengunjungnya.
Beberapa kali, iklan mr P yang muncul pada kolom komentar di bawah artikel yang saya buat, sudah dihapus oleh admin. Beberapa kali juga, terpaksa saya yang harus menghapusnya. Meski demikian, tetap saja iklan itu terus bermunculan. Dihapus, nongol lagi, dihapus lagi, muncul lagi. Begitu seterusnya.
Namun, ada juga pertanyaan yang muncul dari kegigihan iklan tanpa izin itu. Benarkah ukuran mr P menjadi penentu kepuasan hubungan suami-istri? Adakah faktor lain yang juga diperlukan dalam urusan pemenuhan kebutuhan batin ini?
Izinkan saya untuk mengambil beberapa contoh kasus yang terkuak dari ruang praktik hipnoterapi. Beberapa kesimpulan yang muncul, keperkasaan lelaki tidak ditentukan oleh ukuran. Percuma saja besar, jika kemudian loyo atau tidak bisa bekerja maksimal. Atau percuma saja besar, namun kemudian muntah sebelum memberikan kepuasan kepada pasangan.
Berhubungan intim memerlukan pikiran tenang dan nyaman. Obat perkasa terbaik untuk bisa menjalankan kewajiban memberikan nafkah batin kepada pasangan adalah pikiran yang selalu bahagia. Karena banyaknya pria yang stress di tempat kerja, beban pikiran yang menumpuk, hingga masalah yang tak kunjung selesai, akibatnya tidak sedikit yang gagal memberikan nafkah batin pada pasangannya.
Belum lagi masa lalu seperti perasaan kecewa, trauma, marah, sakit hati, dendam dan berbagai masalah emosi lainnya, yang tentu akan mengganggu aktivitas seksual.