Hari ini, sejak bertahun-tahun lalu, saya selalu ketakutan. Setiap kali kalender menunjukkan tanggal 30 September, yang ada di pikiran saya adalah suasana mencekam, menyeramkan, dan sangat menakutkan.Â
Ya, sejak duduk di sekolah dasar (SD), saya sangat trauma dengan film yang menunjukkan kekejaman Partai Komunis Indonesia (PKI). Terlepas benar tidaknya film ini, namun ritual tahunan dengan memutar film tersebut sudah berhasil membuat saya tidak bisa tidur semalam suntuk.
Dari mulai alunan musiknya, dialog-dialognya, semua masih lekat di pikiran bawah sadar saya. Walau saya tidak lagi melihat film ini, namun dengan mudah bayangan terkait semua adegan film, bisa muncul di pikiran secara nyata, tiga dimensi, dan berwarna.
Masih kuat di ingatan saya, setiap kali 30 September, saya tiba-tiba memilih tidur dengan ibu saya. Saya peluk erat tubuhnya dan seluruh wajah saya tenggelamkan di pelukannya. Meski televisi di rumah sudah dimatikan, ternyata suara televisi milik tetangga yang sedang menyaksikan film PKI ini tetap masuk di telinga saya. Jadilah saya semakin ketakutan, keringat dingin, dan tubuh saya semakin gemetar.
Beranjak dewasa, usia SMP, perasaan takut ini belum hilang. Setiap kali ada pemutaran film ini, saya lebih memilih menutup telinga dengan headphone berisi musik kesukaan.
Puncaknya ketika SMA, saat itu saya mewakili Kalimantan Timur mengikuti lomba pidato Hari Kesaktian Pancasila tingkat nasional di Jakarta. Lomba diikuti 26 peserta dari masing-masing provinsi. Jumlah provinsi saat itu hanya 27, dan ketika itu Papua sedang tidak ikut serta.
Usai lomba berlangsung di Kementerian Pendidikan Nasional di kawasan Fatmawati Jakarta, ternyata ada kunjungan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dan Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya. Saya benar-benar syok, kenapa harus berkunjung ke tempat yang selama ini saya takuti. Namun, sebagai wakil dari provinsi Kaltim, jelas saya harus menyembunyikan perasaan ini.
Di Lubang Buaya Jakarta Timur, saya berusaha sekuat tenaga membuang rasa takut yang menyelimuti tubuh. Meski tambah santai dan tertawa-tawa dengan teman peserta lomba dari provinsi lain, faktanya tubuh saya gemetar, tubuh saya dingin. Apalagi ketika menengok sumur yang konon digunakan untuk membuang para jenderal, nyali saya langsung ciut, lutut terasa langsung lemas. Beruntung, ketika itu peserta dari Jakarta yang tubuhnya lebih besar ketimbang saya, bisa jadi tempat untuk berpegangan.
Begitu pula ketika melihat rumah yang dijadikan lokasi pembantaian dengan patung lilin di dalamnya, benar-benar rasa takut itu menjadi semakin kuat. Apalagi, suara-suara dialog yang terjadi juga terdengar sayup-sayup melalui pengeras suara yang ada di sekeliling bangunan ini.
Teror ketakutan belum selesai, karena saya masih harus masuk ke dalam museum, berisi diorama perjalanan PKI dari masa ke masa. Bagi saya, kekejaman komunis benar-benar sejarah paling kenang yang tak patut untuk dikenang, kecuali harus dibuang jauh-jauh.
Beruntung, sejak mendalami teknologi pikiran di Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, teror itu akhirnya berahir. Dengan teknik khusus yang sudah diajarkan, saya benar-benar membuang semua perasaan takut dan tidak nyaman itu. Tubuh saya sempat gemetar, keringat dingin bercucuran saat proses terapi diri sendiri itu saya lakukan. Bersyukur, beban rasa takut itu akhirnya benar-benar lepas dan lenyap.