Dunia pendidikan berasrama, lagi-lagi ditimpa aib yang sangat memalukan. Peristiwa kriminal berat seperti pembunuhan, bisa dilakukan di lingkungan sekolah, yang konon katanya untuk menciptakan calon pemimpin berkualitas.
Tentu, tidak semua sekolah berasrama bisa dipukul rata. Sebab, hasil dari lulusan yang baik juga lebih banyak, ketimbang perilaku siswa yang dianggap ‘pembawa sial’.
Yang jelas, keberadaan sekolah berasrama ini sama halnya dengan kecelakaan di dunia penerbangan. Saking amannya pesawat terbang, maka satu kecelakaan saja, seringan apa pun kejadiannya, pasti seketika menjadi sorotan dunia.
Jika pesawat menempati kasta tertinggi dalam bidang transportasi, maka sekolah berasrama bisa dikatakan setali tiga uang di dalam dunia pendidikan. Maka, satu kejadian kecil saja, akan menjadi perhatian publik. Apalagi sampai terjadi peristiwa besar seperti pembunuhan.
Paling anyar adalah kejadian di SMA Taruna Nusantara Magelang, Jawa Tengah. Siswa sekolah tersebut Kresna Wahyu Nurachmad (15), tewas di tangan temannya sendiri Andi Muhammad Ramadhan alias AMR (15).
Pelaku berani melakukan perbuatan nekat setelah kesal karena beberapa kali kepergok korban saat mencuri barang-barang milik siswa lain. Pelaku membunuh korban menggunakan pisau sepanjang 30 cm, pada Jumat (31/3/2017) sekitar pukul 03.30 WIB di kamar 2B graha 17 komplek SMA Taruna Nusantara, Kabupaten Magelang. Pelaku diancam pasal 340 jo pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun dan denda Rp 3 miliar.
Dari fakta di atas, bisa dibayangkan bagaimana nasib dan masa depan sang pelaku. Sebaliknya, nasib korban pun tamat seketika. Semua impiannya termasuk harapan kedua orang tuanya, lenyap tak tersisa. Yang tertinggal justru sebuah luka besar menganga di dalam benak kedua orang tua korban.
Yang menjadi pertanyaan mendasar, kenapa seorang siswa yang berusia 15 tahun sampai berani melakukan tindakan begitu kejam? Apakah kekerasan dan kekejaman sejatinya sudah akrab dalam kehidupan sehari-hari mereka di sekolah? Ini tentu perlu pembuktikan. Namun faktanya, sebuah kekerasan yang terus menerus, jelas akan memberikan dampak yang fatal secara psikologis.
Sudah menjadi rahasia umum, sekolah kedinasan, termasuk sekolah berasrama di dalamnya, yang menerapkan senioritas, terkadang sangat akrab dengan pola pendidikan kekerasan.
Saya tidak menyebut pendidikan kekerasan sebagai pendidikan ala militer. Sebab, sekejam-kejamnya pendidikan militer, semua masih terstruktur dan terukur. Jarang sekali dijumpai ada tentara yang tewas saat latihan. Sementara faktanya, tak sedikit taruna sekolah kedinasan berasrama yang mengalami kekerasan dari seniornya karena kekerasan yang tidak terukur. Satu-satunya ukuran untuk melihat aksi mereka kebablasan adalah tercabutnya nyawa dari tubuh siswa yang teraniaya.
Dalam kasus yang terjadi di SMA Taruna Nusantara, Kresna Wahyu Nurachmad sudah jelas menjadi korban, karena nyawanya tak bisa dipertahankan. Namun sang pelaku, AMR, sejatinya juga menjadi korban. Yakni korban dari ketidakstabilan psikologisnya.