Selama ini para pemuka agama, terutama ulama, sudah sering mengingatkan agar seluruh umatnya beragama secara kaffah, atau menyeluruh. Seperti disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 208 yang berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian kepada Islam secara kaffah (menyeluruh), dan janganlah kalian mengikuti jejak-jejak syaithan karena sesungguhnya syaithan adalah musuh besar bagi kalian.”
Dari sisi agama, jelas sudah tidak terbantahkan dan biarkan untuk penjelasannya menjadi domain para ulama.
Namun, izinkan saya untuk membahas hal ini dari sisi teknologi pikiran. Saya menuliskan ini dengan harapan bisa menambah literasi dari sudut pandang pemahaman yang sedang saya geluti saat ini.
Bahwa beragama tentu tidak diperkenankan setengah-setengah, harus menyeluruh. Sepintas ini terdengar mudah dan simpel. Namun faktanya tidak gampang. Buktinya para pelaku kejahatan, umumnya juga memiliki agama. Apa pun agamanya, yang jelas beragama. Kalau pelaku kejahatan beragama, seharusnya tidak akan berani melakukan kejahatan bukan?
Lalu kenapa mereka yang beragama masih melakukan tindakan kurang baik, dari mulai yang ringan hingga yang dianggap sangat berat?
Dalam pemahaman teknologi pikiran yang saya pelajari di kelas 100 jam Scientific EEG & Clinical Hypnotherapy (SECH) Adi W. Gunawan Institute of Mind Technology, setiap manusia memiliki bagian diri atau disebut ego personality (EP) yang punya fungsi berbeda beda.
Bagian diri atau disebut ego personality (EP) inilah yang memegang peranan dalam keseharian. Ini pun letaknya di pikiran bawah sadar. Demikian pula soal agama, letaknya harus di pikiran bawah sadar. Jika tidak, maka seseorang dengan mudah dipengaruhi dan bisa berpindah agama kapan saja.
Itulah kenapa, persoalan agama letaknya berada di pikiran bawah sadar. Sebab pikiran bawah sadar itu sendiri, memegang kendali 95 sampai 99 persen. Sisanya 1 sampai 5 persen barulah menjadi kendali pikiran sadar.
Kembali ke persoalan ego personality alias EP, setiap orang yang beragama tentu secara otomatis juga memiliki EP agama. EP inilah yang memegang kendali hal-hal yang berurusan soal agama.
Bagi yang muslim misalnya, begitu mendengar adzan, otomatis EP ini menggerakkan individu untuk melaksanakan kewajiban. Lalu, kenapa tidak serta merta melaksanakan kewajibannya? Inilah persoalannya, ada bagian diri yang memegang urusan lain, baik itu urusan duniawi seperti pekerjaan, atau hal lainnya. Maka terkadang, ‘alarm’ dari EP agama ini terkadang kalah dan tidak didengarkan.