Beberapa hari terakhir, media sosial dipenuhi berita soal Fadli Zon yang anaknya pergi ke Amerika Serikat, dan sempat meminta layanan ekstra dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Negeri Paman Sam tersebut. Meski kemudian hal itu dijawab politisi Partai Gerindra tersebut, dan mengembalikan dana Rp 2 juta, namun publik sudah terlanjur memvonis bahwa apa yang dilakukan anggota parlemen ini sangat tidak patut.
Apakah hanya anak Fadli Zon saja yang pernah mendapat pelayanan ekstra ini? Fakta mengungkap, Rachel Maryam, artis yang kemudian menjadi politisi itu pun pernah mendapat perlakuan yang sama ketika berkunjung ke Eropa.
Saya yakin, persoalan pelayanan ini ibarat gunung es, masih banyak yang belum terungkap di permukaan. Kenapa? Karena memang budaya orang Indonesia yang ramah dan mengedepankan kekeluargaan sangatlah kental.
Saya misalnya, dengan sesama karyawan Jawa Pos Group, tentu dengan senang hati menjemput atau mengantar teman yang mungkin kebetulan singgah di kota saya berada. Begitu pula ketika saya bertepatan berkunjung ke daerah lain, rekan sesama grup ini pun pasti akan menyambut dengan baik, asal memang berkomunikasi dengan baik di awal.
Masalahnya, ini tidak bisa disamakan dengan urusan negara. Harus dipilah mana urusan negara dengan urusan pribadi. Wajar jika kemudian publik mencibir dan berpandangan negatif terhadap perilaku melayani keluarga para pejabat ini.
Bos saya, chairman Kaltim Post Group yang juga salah satu petinggi di Jawa Pos, Zainal Muttaqin, pernah mengingatkan, jangan sering-sering minta dilayani. Karena hal itu sangat menggiurkan dan akan membuat seseorang bisa lupa diri. Yang sangat dikhawatirkan di kemudian hari adalah, penyakit post power syndrome alias sindrom kekuasaan ketika sudah tidak memiliki jabatan apa-apa.
Karena itu, coba perhatikan para pejabat yang sudah pensiun atau tidak lagi memiliki jabatan, tak sedikit yang kemudian mengalami post power syndrome ini. Saya misalnya, pernah mendapat kabar salah satu mantan bupati di salah satu daerah di Kaltim, yang sampai sekarang masih suka marah-marah dengan mantan bawahannya. Rupanya orang ini lupa kalau dia sudah bukan lagi seorang bupati.
Maka, budaya tanpa pelayanan itu pula yang diterapkan di lingkungan Kaltim Post Group. Para direksi di lingkungan perusahaan ini, tak ada yang memiliki sopir pribadi. Semua sudah terbiasa ke mana-mana mengemudikan kendaraan sendiri. Tak ada yang terbiasa dengan pelayanan sopir atau ajudan, sehingga budaya minta dilayani ini pun sangat minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada.
Ini pula yang membuat saya, hingga detik ini, merasa nyaman dan betah berada di lingkungan perusahaan ini. Tidak ada hirarki yang kaku antara bawahan dan atasan. Semua berbaur tanpa sekat dan sejajar. Namun, semua tetap dibingkai dengan etika dan kesantunan. Masing-masing individu di perusahaan ini sudah menyadari tugas dan fungsinya masing-masing. Atasan, sangat menghargai bawahannya. Bawahan, juga tetap menghormati atasan meski bisa berbaur dengan nyaman.
Pendek kata, bawahan merasa perlu dengan atasan. Atasan pun menganggap penting bawahan. Ibarat pakai baju, bayangkan jika hanya pakai bawahan tanpa atasan. Atau sebaliknya, hanya pakai atasan tapi tidak pakai bawahan, apa jadinya?
Maka, kembali ke soal pelayanan yang sempat dinikmati anak Fadli Zon tersebut, Anda boleh berkomentar apa saja. Namun sebelum itu, yang lebih penting saat ini adalah, ambil hikmah dan pelajaran bagi diri sendiri dan keluarga atas kejadian itu. Bukan tidak mungkin, suatu saat Anda berada pada posisi yang sama. Atau mungkin teman atau kebarat Anda yang melakukannya. Boleh jadi kelak, anak Anda juga tergiur untuk mendapatkan hal yang sama. Sebelum semua itu terjadi, mari bentengi diri sendiri dan keluarga dari kebiasaan mendapat pelayanan yang menyilaukan. Karena memang dilayani itu sangat nyaman dan memabukkan.