Sahabat, sering kali orang tua tidak sengaja menganggap anaknya sebagai jam dinding. Loh kok bisa? Coba Anda perhatikan jam dinding. Kapan Anda terakhir memberikan perhatian lebih pada jam dinding? Umumnya, perhatian lebih hanya diberikan ketika jam dinding jalannya mulai tersendat atau macet. Kalau sudah macet, barulah sibuk membelikan baterai, dan menyentuhnya untuk sekadar diganti baterai. Setelah jam dinding kembali normal, ya kembali diabaikan.
Umumnya orang melihat jam dinding hanya sambil lalu saja, seperlunya saja. Yang kerap terjadi adalah, gangguan pada jam dinding tak pernah dideteksi. Selalu menunggu macet, bahkan mati total, barulah jam dinding diperhatikan. Yang lebih parah lagi, ketika jam dinding sudah macet, tetap juga diabaikan atau dianggap tidak ada.
Apalagi belakangan ini, fungsi jam dinding sudah tergantikan dengan jam digital yang ada di smartphone masing-masing. Maka bisa ditebak, perhatian terhadap jam dinding semakin tidak ada. Alih-alih jam dinding rusak perlu diservis, umumnya orang merasa, toh masih ada jam di smartphone yang selalu update, dan tidak pernah meleset.
Jam dinding memang sangat pantas dijadikan perumpamaan bagi orang tua yang ‘kurang peduli’ terhadap anaknya sendiri. Jam dinding yang harus terus berjalan, tak boleh terhenti sedikit pun. Karena itu, baterainya tidak boleh habis. Begitu habis, harus diisi agar jam tidak macet.
Begitu pula dengan anak Anda, baterai cintanya tidak boleh kosong atau drop. Begitu kosong, harus segera diisi, agar buah hati tidak macet. Macet di sini sangat luas. Macet kreativitasnya, macet kepekaannya, hingga macet rasa kasih sayangnya kepada orang tua.
Jam dinding ketika berjalan dengan normal, tak pernah ada yang memuji. Tapi coba kalau macet atau bahkan mati, tak sedikit yang mencela bahkan mencaci.
“Baru juga diganti baterainya, sudah mati lagi. Jam macam apa ini?” begitu omelan yang terkadang muncul.
Begitu pula dengan anak Anda. Tak sedikit orang tua yang lebih jeli melihat kesalahan anaknya, ketimbang memuji kebaikan yang sudah dilakukan anak. Orang tua lebih suka memarahi anak. Bahkan saat anak melakukan kesalahan kecil sekali pun, orang tua langsung marah. Sebaliknya, tak pernah memberikan penghargaan pada anak yang sudah melakukan kebaikan.
Sekecil apa pun perbuatan baik yang dilakukan anak, sudah sepatutnya diberikan apresiasi yang sepadan. Umumnya orang tua hanya menganggap biasa saja, atau dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Padahal sama seperti orang tua, anak pun perlu mendapatkan pujian ketika melakukan kebaikan.
Sebagai contoh misalnya, ketika anak tiba-tiba membereskan sendiri tempat tidurnya, maka ada baiknya langsung dipuji. Bukan malah sebaliknya, mempermalukannya kembali dengan kalimat, “tumben rajin. Biasanya juga malas, dibiarkan berantakan.” Akibatnya, anak akan merasa, untuk apa berbuat baik, toh juga tidak dihargai sama sekali. Coba bayangkan Anda berada pada posisinya, bikin sakit hati bukan?
Misalnya Anda yang sudah dewasa melakukan kebaikan di kantor, tapi kemudian malah diejek atau disindir. Pasti merasa ngga enak hati juga kan? Begitu pula yang dirasakan anak-anak.