Belakangan, publik +62 dipertontonkan dengan adegan kekerasan atau aksi koboi di keramaian. Belum lepas dari ingatan terkait pengemudi mobil Fortuner yang melakukan penodongan pistol pada wanita, muncul lagi aksi bang jago pada sopir kontainer.
Saat ditangkap, seketika nyalinya ciut. Aksi yang awalnya dilakukan dengan sangar, begitu tertangkap polisi langsung lembek seperti kerupuk kena air. Ketika ditanya, jawabannya hampir pasti seragam. Umumnya karena emosi sesaat. Setelah ditanya, pasti menyesal dan mengaku khilaf.
Lantas apa sebenarnya yang membuat orang mudah tersulut emosi? Izinkan saya mencoba membahas ini dari sisi teknologi pikiran. Dari pengalaman di ruang praktik hipnoterapi klinis, rasa marah atau emosi, umumnya disebabkan karena kurang tepatnya pola asuh di masa lalu.
Anak yang dibesarkan dengan kekerasan, dengan teriakan dan bentakan, maka umumnya akan tumbuh sebagai orang dewasa yang juga mudah marah dan emosi. Atau sebaliknya, kalau pun tidak marah dan emosi, akan tumbuh menjadi orang yang pemalu dan minder parah.
Dulu, saya belum memahami hal ini. Sampai akhirnya belajar teknologi pikiran di Adi W Gunawan Institute of Mind Technology hingga membuka praktik, akhirnya bisa menemukan benang merah dari pola asuh di masa lalu dengan karakter seseorang di masa kini.
Sahabat yang saat ini masih mendidik anak dengan kemarahan dan kekerasan, bisa diduga nanti ketika dewasa anak menjadi anak yang pemarah dan mudah emosi. Kalau pun tidak bisa meluapkan emosinya, akan tumbuh menjadi sosok yang pendendam, dan tidak terbuka dengan orang lain.
Maka sudah sepatutnya, mata rantai atau lingkaran setan pola asuh ini harus diputus. Dulu, saya juga mudah tersulut emosi. Mudah marah, bahkan tidak terkontrol. Ini terjadi karena memang waktu kecil kurang mendapatkan kelembutan. Dididik dengan kekerasan. Walau orang tua niatnya untuk mendidik, namun faktanya itu akan berdampak pada karakter anak saat tumbuh dewasa.
Saya pun memutuskan belajar pengelolaan emosi, dan akhirnya bisa mengatasi rasa marah. Maka mendidik anak tidak lagi dengan marah-marah. Di lingkungan kerja juga tidak perlu meluapkan amarah yang tidak perlu. Jika sudah berhasil melakukan ini, maka sama saja sudah memutus mata rantai kemarahan itu sendiri.
Pada para pelaku aksi kekerasan atau koboi, sudah sepatutnya dibantu untuk memutus lingkaran setan ini. Aparat penegak hukum sepatutnya tidak hanya memberikan hukuman, namun saat di dalam penjara, perlu diberikan cara atau teknik untuk mengatasi amarah. Dengan cara ini, maka lembaga pemasyarakatan benar-benar menjadi 'sekolah' yang tepat untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Bukan malah sebaliknya, begitu keluar dari penjara, malah tumbuh menjadi pribadi yang makin pandai dan cerdik melakukan tindak kejahatan.
Bagaimana menurut sahabat? (*)