Joko tetap tak terima. Dia merasa apa yang menjadi usahanya selama ini sudah sia-sia. Hampir tiga tahun dia mati-matian memperjuangkan cintanya. Berharap pendekatan dengan gadis pujaannya membuahkan hasil. Sekarang, giliran dia berhasil mendapatkan perhatian dari gadis pujaannya dan mau menikah, prosedurnya pula yang ribet.
"Tidak bisa mas. Gadis yang sampean pilih terlalu jauh. Tidak masuk dalam zonasi tempat tinggal sampean. Coba usahakan dapat gadis yang satu zona dulu. Kecuali kalau semua gadis di satu zona sudah habis atau menolak lamaran sampean, baru boleh menikah dengan di zona lain."
Kepala urusan pernikahan itu menjelaskan panjang lebar. Joko tentu kaget dengan alasan itu. "Busyet dah, aturan dari mana pula pakai zonasi. Sejak kapan diberlakukan? Kalau begini caranya, makin banyak kawin paksa. Banyak pula janda karena menikah tanpa cinta, hanya berdasar zonasi. Belum lagi yang jomblo, makin susah ini pak," Joko coba membantah.
"Maaf mas, saya hanya menjalankan aturan. Aturannya kebetulan sudah mulai berlaku. Jadi sebaiknya coba cek tetangga sebelah rumah. Mana tahu ada gadisnya yang belum menikah," petugas itu tersenyum usai memberikan penjelasan. Kemudian berlalu dari hadapan Joko.
Pria itu hanya bengong di depan kantor urusan pernikahan. Impiannya buyar seketika. Sia sia sudah perjuangannya selama 3 tahun itu. Haruskah dia menyisir anak gadis di kampungnya sendiri?
Tentu saja, kisah di atas hanya fiktif belaka. Tulisan ini jelas menyikapi kegelisahan orang tua yang tahun ini anaknya harus masuk di sekolah SMP atau SMA dan sederajat, terutama sekolah negeri. Sistem zonasi yang diterapkan di sekolah, nyatanya menimbulkan kegaduhan di seluruh penjuru negeri.
Jika sistem ini bagus, mungkin tak akan ada persoalan. Jika timbul pro kontra, maka ada baiknya sistem ini dievaluasi. Sepintas, sistem ini memang sangat baik. Mengakomodir setiap orang agar bisa sekolah di dekat tempat tinggalnya.
Namun persoalannya, di Indonesia ini mutu dan kualitas pendidikan antara satu sekolah dengan sekolah lain belum sama. Walau pun tentu pun tidak harus merata. Semangatnya memang bagus. Agar tidak ada lagi dikotomi sekolah favorit, sekolah unggulan, sekolah plus, atau apa pun sebutannya.
Sayangnya, proses menuju standardisasi sekolah belumlah berjalan maksimal. Selain itu, jumlah sebaran sekolah juga belum merata. Ada beberapa sekolah yang menumpuk di satu lokasi. Pun sebaliknya, ada wilayah yang jumlah sekolahnya terbatas. Bahkan ada yang tidak ada sekolahnya sama sekali.
Lantas bagaimana sebaiknya? Saya yakin, di Kementerian Pendidikan itu banyak orang pintar. Banyak profesor dan doktor yang mumpuni. Pasti bisa mengambil keputusan terbaik. Yang diperlukan hanya satu, sebelum mengambil keputusan, pakailah kacamata Nusantara. Gunakan kacamata bahwa Indonesia ini dari Sabang sampai Merauka. Indonesia bukan hanya Jakarta, Bandung, atau Surabaya.
Ada banyak provinsi, kabupaten, dan kota, yang kondisinya keren banget. Ketika saya menuliskan keren, ya memang keren lah. Saya yakin pembaca tahu kerennya seperti apa. Maka, jumlah sekolahnya juga keren, kualitas dan kondisinya juga sangat keren pula.