Mohon tunggu...
Endro S Efendi
Endro S Efendi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Trainer Teknologi Pikiran

Praktisi hipnoterapis klinis berbasis teknologi pikiran. Membantu klien pada aspek mental, emosi, dan pikiran. Aktif sebagai penulis, konten kreator, juga pembicara publik hingga tour leader Umroh Bareng Yuk. Blog pribadi www.endrosefendi.com. Youtube: @endrosefendi Instagram: @endrosefendi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Pendukung Radikal Tak Mau Dianggap Kalah?

26 April 2019   07:09 Diperbarui: 26 April 2019   07:16 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: @nurhadialdo_bali10

Sepanjang pesta demokrasi yang sedang berlangsung hingga keputusan final nanti, hal yang tidak ringan untuk dijalani adalah menahan diri. Menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan apa pun itu. Baik perasaan menang maupun tidak menang.

Adalah lumrah, di dalam setiap diri manusia ada bagian diri yang selalu ingin menang, tak rela kalau sampai tidak memenangi kompetisi. Nah, selama proses demokrasi itu, bagian diri inilah yang sangat aktif dan menguasai diri setiap individu.

Apalagi bagi mereka yang terlibat langsung, secara otomatis, mereka yang terlibat, bagian diri yang selalu ingin menang langsung mode on. Baik itu sebagai tim pemenangan, tim sukses, atau istilahnya pendukung garis keras.

Ada yang menyebut pendukung garis keras ini sebagai cebong atau kampret. Entah kenapa kedua makhluk ini seketika sangat terkenal. Semoga saja kedua makhluk ini tidak sampai dendam dengan manusia. Kebayang kan kalau kemudian di keluarga cebong atau kampret, mereka melakukan perundungan kepada sesama mereka dengan sebutan, "dasar manusia".

Saya pribadi, sejak tahun lalu ketika kedua pasangan ini belum ditetapkan bersaing dalam Pilpres, selalu menahan diri untuk tidak ambil bagian dalam posting soal demokrasi ini. Terakhir saya hanya menuliskan bagaimana kedua pasangan memakai strategi pikiran bawah sadar untuk merebut suara. Hanya itu.

Saat menulis artikel itu pun, saya benar-benar berusaha bagaimana agar seimbang. Bahkan jumlah baris setiap pasangan saya hitung. Jangan sampai ada yang lebih banyak. Ulasan itu pun saya baca ulang beberapa kali, untuk memastikan benar-benar tidak berat sebelah. Beberapa sahabat yang saya tahu pendukung masing-masing pasangan, juga saya minta baca dengan pikiran jernih. Nyatanya sudah cukup aman. Alhamdulillah, artikel itu tidak memantik persoalan.

Saat pemungutan suara selesai, saya pun tetap menahan diri. Jujur, memang ada bagian diri yang berontak. Ingin meluapkan emosinya terhadap proses yang sedang terjadi. Namun bagian diri ini segera saya berikan pemahaman. Saya ajak bagian diri ini untuk bernegosiasi. Sebab nyatanya, tak semua emosi atau perasaan patut diluapkan di beranda belantara maya, dan dibaca ribuan orang.

Setiap kata dan kalimat mengandung energi. Energi itu bisa positif, bisa juga tidak positif. Maka, saat seseorang meluapkan emosi dan perasaan di media sosial, maka dia sedang menyebarkan energi pada orang lain, sesuai muatannya. Persoalannya, energi yang sudah keluar tidak bisa dimusnahkan begitu saja.

Sesuai hukum kekekalan energi, energi akan terus berputar, meski boleh jadi wujudnya berbeda. Namun, muatan energinya akan tetap sesuai dengan ketika energi itu dilepaskan. Saat ada yang menghujat, melakukan perundungan pada orang lain, atau mem-bully, maka sejatinya energi itu akan kembali pada diri sendiri.

Atas dasar itulah, saya enggan menyebarkan energi yang kurang positif pada orang lain melalui media sosial. Saya tahu, teman dan sahabat saya tidak semua satu pilihan. Setiap orang memiliki jutaan bahkan miliaran alasan untuk memilih pasangan yang disukai. Pun, setiap individu juga memiliki miliaran alasan untuk tidak memilih pasangan tertentu. Maka itulah yang harus dihargai.

Coba perhatikan di media sosial, begitu banyak orang pandai, orang cerdas, orang yang mumpuni, energinya langsung kurang positif ketika berbicara mengenai pilpres. Tak peduli mereka dari kubu mana. Pendek kata, tak sedikit beberapa orang dari kedua kubu benar-benar tak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Bahkan ada saja yang berbanding terbalik dengan keseharian yang mereka sampaikan, atau mereka ajarkan di forum-forum resmi, seperti seminar atau pelatihan.

Saya menulis ini pun, boleh jadi ada yang terima atau ada yang tidak terima dengan pendapat ini. Silakan saja. Sah-sah saja. Setiap orang boleh berpendapat. Pendapat saya ini pun belum tentu benar. Sebab setiap kepala, isinya tentu berbeda-beda.

Lantas bagaimana agar bisa menahan diri? Sekadar mengingatkan, di setiap diri individu, selalu ada bagian diri yang bijaksana. Sesekali, ketika ada waktu untuk komunikasi dengan diri sendiri, maka panggillah bagian diri yang bijaksana. Silakan tanyakan apa yang ingin Anda lakukan dengan sang bijaksana ini.

Dengarkan dengan ketenangan dan kelembutan hati, pasti ada bagian diri bijaksana yang memberikan saran dan masukan. Setiap orang yang akan mengambil keputusan, biasanya ada bagian diri yang bijaksana mencoba memberikan saran dan masukan. Namun, tak jarang bagian diri yang bijaksana ini dikalahkan atau diintervensi dengan bagian diri yang ingin selalu menang.

Jika kondisi seperti itu terjadi terus-menerus, jangan heran jika sang bijaksana akhirnya memilih diam, tak lagi memberikan saran dan masukan apa pun pada diri sendiri. Jika sang bijaksana dalam diri sudah ngambek, inilah sumber bencana. Individu yang tak lagi memiliki bagian diri bijaksana, akan dikuasai perasaan egois. Ingin selalu menang. Hati nurani akan semakin tumpul dan bagian diri bijaksana bisa saja benar-benar meninggalkan tubuh individu tersebut.

Hentikan menyebar energi kurang positif di media sosial. Tahan diri, aktifkanlah bagian diri yang bijaksana. Maka rasakan, kenyamanan akan benar-benar merasuki diri sendiri. Jika sudah seperti itu, rasakanlah bahwa dunia ciptaan Sang Maha Kuasa ini benar-benar luar biasa.

Bagaimana menurut sahabat?  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun