Saya memang sangat jarang, bahkan boleh dikata tidak pernah, menonton tayangan debat. Kenapa, karena bagi saya, acara seperti itu hanya akan menguras energi. Namun, mata saya mau tidak mau menangkap rekaman tayangan Indonesia Lawyer Club (ILC) yang bertebaran di lini masa media sosial.
Tayangan yang menampilkan pegiat media sosial Ustaz Felix Siauw, Denny Siregar, dan Abu Janda alias Permadi Arya, tampaknya sangat viral. Bahkan, saat saya mengecek Google Trend ketika menuliskan artikel ini, posisi tayangan ILC itu masih bercokol di peringkat 10 besar.
"Alhamdulillah, bagus sekali. Saya harus belajar dari orang-orang ini," begitu ucapan saya dalam hati ketika melihat postingan di media maya soal ILC ini. Kenapa harus mengatakan, "alhamdulillah, bagus sekali..."?
Sejatinya, semua umat manusia di atas muka bumi ini, terhubung satu sama lain oleh energi. Ada yang mengatakan sebagai energi quantum, atau energi kosmos. Apa pun namanya, yang jelas ada ikatan energi antara manusia satu dengan yang lainnya.
Nah, karena setiap manusia terhubung melalui "jalur energi semesta" ini, maka respons atas segala sesuatu, sejatinya akan kembali ke diri sendiri. Ibarat cermin, apa pun sikap terhadap segala sesuatu, akan kembali pada diri sendiri.
Maka, saat melihat penampilan semua pembicara di acara ILC itu, saya spontan mengatakan, "alhamdulillah, bagus sekali." Kenapa? Ini untuk menjaga agar level energi di dalam diri tetap positif, stabil, dan maksimal. Sebab, ketika memberikan respons negatif, maka sejatinya sedang menguras energi diri sendiri.
Bahkan, ada sahabat yang mengatakan, keduanya memang sengaja mengambil peranan untuk di-bully agar terkenal. Bukankah seperti diungkapkan pepatah Arab, "Bul 'alaa zam zam fatu'raf" alias jika ingin terkenal, kencingi air sumur zam zam. Maksudnya, jika ingin tenar, lakukanlah hal-hal yang aneh atau nyeleneh. Maka, boleh jadi Abu Janda dan Denny Siregar sengaja melakukan itu agar tenar. Tapi, ini hanya sebatas dugaan. Karena ada apa di balik yang mereka lakukan, tentu hanya mereka yang tahu.
Sahabat, mem-bully atau di-bully, sama-sama menguras energi. Coba saja Anda mengejek atau melakukan cacian terhadap orang lain, setelahnya pasti merasa lelah atau capek. Bahkan, coba saja membaca perundungan yang tersebar sebagai status di media sosial, pasti ada perasaan tidak nyaman. Artinya, dengan membaca postingan berisi kalimat negatif pun, energi bisa langsung tersedot perlahan-lahan.
Lantas bagaimana bagi yang jadi korban perundungan alias kena bully? Jelas dampaknya sangat mengkhawatirkan. Dari pengalaman membantu orang lain menggunakan metode hipnoterapi, begitu banyak klien yang trauma karena korban bully di masa lalu. Dari klien anak-anak hingga dewasa, tak sedikit yang perkembangan mentalnya terganggu akibat korban bully ini. Maka, tidak ada salahnya kita mendoakan agar Abu Janda dan Denny Siregar tidak sampai mengalami trauma seperti ini.
Sebagai penulis, baru saja saya merasakan bagaimana tidak nyamannya kena bully. Padahal, tulisan yang saya buat jelas-jelas bermakna sindiran atau sarkasme. Di Kompasiana, tulisan saya soal Bandara Samarinda, sudah dibaca 4.491 kali. Namun semua komentarnya datar saja. Karena saya percaya, mereka yang membaca Kompasiana merupakan para pembaca sabar dan pasti menyimak dengan tepat.
Tapi bagaimana dengan pembaca di media sosial? Inilah masalahnya. Di Facebook, tulisan yang aslinya sudah dimuat di portal berita Kalimantan, prokal.co itu dikomentari 2.342 kali dan sudah dibagikan 981 kali. Apa isi komentarnya? Tentu beragam, ada yang memuji, berkomentar positif, dan tentu ada yang negatif atau bully.