Publik dihebohkan dengan berita di luar nalar dari Garut, Jawa Barat. Seorang anak tega menggugat ibunya sendiri dengan nilai yang tidak tanggung-tanggung, Rp 1,8 miliar. Sebuah angka yang tidak sedikit.
Kalau uang gugatan itu dibelikan bakso yang harganya Rp 20 ribu satu mangkok, maka uang sebanyak itu bisa membeli 90 ribu mangkok.
Untuk diketahui, berdasarkan data penduduk Kabupaten Garut pada 2009, khusus Kecamatan Garut Kota, jumlah penduduknya 136.784 jiwa. Artinya, dengan uang Rp 1,8 miliar tadi, lebih dari separoh penduduk Kecamatan Garut Kota, bisa makan bakso. Banyak sekali bukan?
Tapi ini urusannya bukan sekadar makan bakso. Uang Rp 1,8 miliar itu benar-benar dituntut oleh Yani Suryani kepada ibunya sendiri Siti Rukoyah (83) di Pengadilan Negeri Kabupaten Garut.
Awalnya, sang ibu, Siti meminjam uang Rp 21,5 juta ke anaknya, Yani pada 2001. Uang itu untuk membayar kredit macet anak Siti yang lain, Asep Ruhendi. Puncaknya, Oktober 2016, Yani meminta ibunya menandatangani surat pengakuan berutang yang dibuat bersama suaminya.
Siti disebut berutang Rp 21,5 juta yang ternyata disetarakan dengan nilai emas murni pada 2001 yakni 501,5 gram. Tentu saja, ketika 2016 hasil konversi nilai utang menjadi Rp 640 juta lebih.
Tentu saja wanita yang sudah renta ini tak mampu membayar, sehingga kasusnya bergulir ke pengadilan. Ironisnya, gugatan yang dilayangkan tak hanya utang yang kini nilainya Rp 640 juta, namun juga tambahan gugatan imetaril Rp 1,2 miliar, sehingga ditotal menjadi Rp 1,8 miliar.
Netizen pun dibuat heboh. Beragam komentar bermunculan. Dari mulai yang menghujat, mencaci, mendoakan, hingga prihatin atas kasus tersebut. Betapa harta sudah membutakan mata hati seorang anak terhadap ibunya sendiri. Â
Lantas, kok bisa seorang anak berbuat demikian? Tak mungkin ada asap, kalau tidak ada api. Kasus semacam ini, umumnya diawali dengan kasus kecil lainnya, yang kemudian bertumpuk dan mencapai puncaknya.
Mari dilihat dari sudut pandang orangtua. Satu hal yang pasti, sampai detik ini belum ada perguruan tinggi yang mengajarkan bagaimana menjadi orangtua yang baik dan ideal. Semua orangtua, termasuk saya sendiri, umumnya melalui trial and error dalam menerapkan pola asuh pada anak. Paling lazim adalah, bagaimana orangtua dulu mendidik kita, maka kita pun menirunya. Apakah itu sudah ideal? Itu yang sulit dijawab. Bisa iya, bisa juga belum ideal.
Dalam kasus yang menimpa ibu Siti, boleh jadi, secara tidak sengaja melakukan pilih kasih dalam mendidik anak. Sebab, hal ini yang terkadang juga saya jumpai di ruang praktik. Anak jadi benci bahkan dendam terhadap orangtuanya, hanya karena orangtuanya pilih kasih. Pilih kasih di sini, tentu tidak disadari alias terjadi begitu saja. Orangtua tidak merasa dirinya pilih kasih, namun pikiran bawah sadar si anak, beranggapan demikian.