Namanya juga hidup. Seketika kita mendengar kalimat tersebut, rasanya seperti "ya udahlah". Yang mengharuskan untuk berpasrah. Pasrah yang di maksud disini bukan tentang 'akhir'. Â Melainkan kelanjutan dari keputusan yang pernah diambil.Â
Sepanjang perjalanan untuk menjadi pribadi seperti apa adalah pilihan individu. Terkadang, kata biasa juga bisa membakar orang. Tapi, bukankah kata yang terucap tidak bisa dicabut? Baik dan buruk setiap perkataan, setidaknya itulah yang merubah cara pandang kita sendiri.Â
Mungkin menggerutu saja tidak cukup untuk menghadap kata yang dimaksud.
Kehidupan ini adalah sementara. Tidak ada yang abadi. Kesedihan, bahagia, tangis dan tawa, semua akan berputar. Tapi, bukankah jika kesedihan yang dilalui untuk latar belakang dan pilihan. Bagaimana kita akan menarik diri untuk terus berupaya? Pada dasarnya, tidak ada yang sanggup di saat ia memikirkan bahwa sudah sejauh mana ia melangkah untuk memikrkan atau mengulas balik cerita kehidupan dunia.
Mungkin, tulisan ini abstrak. Sama seperti keberanian. Terkadang, keberanian terlihat abstrak. Tapi selayaknya usaha untuk mencapai tujuan tertentu. Tidak ada yang abadi untuk pilihan, semuanya adalah temporer. Bukan tentang apa dan mengapa, namun bagaimana. jika terdapat pertanyaan, mungkin dengan segap kita langsung menjawab. Namun, semakin kita mempertanyakan diri sendiri, semakin meluas jawaban yang akan diterima.Â
Sejauh ini, kiranya kita telah menjalani hidup sebaik-baiknya manusia. Dengan salah-baik, buruk-baik, dan selebihnya. Untuk itu, apapun yang kita kerjakan sejatinya adalah untuk memberikan diri kita manfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H