Berbicara masalah harta, setiap orang memiliki cara tersendiri dalam memperoleh dan mengelolanya. Bila melihat fenomena-fenomena saat ini, ada sebagian manusia yang mencari rizki dari sesuatu yang tak dibenarkan oleh syariat. Pencurian, perampokan, korupsi, riba merupakan beberapa praktek haram yang sudah menjadi lumrah di era saat ini. Dan yang lebih mirisnya lagi, ada sebagian dari umat Islam yang ikut terjeremus ke dalam jurang setan tersebut.
Islam mengajarkan kepada seluruh manusia untuk mencari rizki secara halal, bukan malah sebaliknya.
“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:168).
Dalam ayat ini, Allah menggunakan kata "manusia" yang mana ayat ini ditujukan kepada seluruh makhluk Allah yang berada di bumi-Nya, tanpa melihat latar belakang agama dan sosial. Selama dia bernyawa dan menjalani kehidupan di dunia ini, maka dia dinamakan manusia.
Dalam kitab “Tafsir Ibnu Katsir”, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah membolehkan manusia untuk memakan segala yang ada di muka bumi, yaitu makanan yang halal, baik, dan bermanfaat bagi dirinya serta tidak membahayakan bagi tubuh dan akal pikirannya.
Perintah ayat ini menjadi pedoman bagi seluruh manusia untuk berusaha mencari rizki yang halal dan baik. Maka, segala bentuk makanan dan minuman yang telah Allah haramkan, tak pantas untuk dikonsumsi. Begitu pula meraihnya harus dicapai dengan cara yang halal.
Barang yang halal bisa berubah hukumnya menjadi menjadi haram, bila cara mendapatnya tidak sesuai dengan perintah Allah, seperti mencuri ayam, riba, mengurangi takaran dalam berdagang, dan lain-lainnya.
Hukum asal mengkonsumsi ayam adalah halal, dan akan berubah hukumnya menjadi haram, bila didapatkan dengan cara yang dilarang-Nya, seperti mencuri. Begitu pula sebaliknya, makanan yang haram, bisa saja menjadi halal, bila seseorang dalam keadaan terdesak. Dalam kaidah ushul fiqh dikatakan “ad-dharuuraatu tubiihu al-mahdhuuraatu” , keadaan darurat membolehkan suatu yang terlarang. Misalkan seseorang berada di hutan dan kesulitan untuk menemukan hewan yang halal untuk dimakan. Ketika itu, Ia hanya menemukan babi, maka hewan itu boleh dikomsumsi, dengan batasan hanya untuk menghilangkan rasa lapar saja, tanpa harus mengeyangkan perutnya.
Pratek bunga atau riba juga termasuk transaksi yang dilarang oleh agama. Maka, hendaklah setiap manusia menjauhinya dan beralih ke transaksi yang halal. Orang- orang yang terjerumus ke system ini diperumpamakan seperti orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
"Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila …” (QS.2:275)
Orang yang memakan riba, kelak di hari kiamat mereka tidak dapat berdiri dari kuburan kecuali seperti berdirinya orang gila pada saat mengamuk dan kerasukan syaitan, yaitu mereka berdiri dengan posisi yang tidak sewajarnya.
Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Pemakan riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan seperti orang gila yang tercekik.”
Betapa beratnya siksa pemakan riba di akhirat. Namun, masih saja ada sebagian umat yang mengerjakannya. Bahkan, bunga dijadikan acuan untuk menunjang ekonomi di dunia ini. Dan inilah yang menjadikan orang-orang bersikap rakus terhadap harta, seperti halnya orang yang kesurupan. Ia akan berbuat semena-mena karena tak bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Selain itu, orang yang mencari rizki dari harta yang haram, maka Allah akan menolak doa-doanya. Di zaman Rasulullah, ada seorang laki-laki yang telah lama berjalan karena jauhnya jarak yang ditempuhnya, sehingga rambutnya kusut dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya berdo'a: "Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku.” Padahal, makanannya dari sumber yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan diberi makan dengan makanan yang haram, maka bagaimanakah mungkin akan dikabulkan doa orang seperti itu.
Mengapa orang itu tidak dikabulkan doanya?
Padahal, bila kita cermati, di antara terkabulnya doa adalah orang yang sedang berpergian atau musafir, orang yang berdoa sambil mengangkat tangannya, dan orang yang berdoa sambil menyembutnya nama Allah dengan suara yang lembut. Kisah orang di atas, telah memenuhi kriteria dikambulkannya doa. Namun, dikarenakan ia memakan harta yang haram, maka Allah enggan mengabulkan doannya.
Bila harta diperoleh dengan cara yang haram, maka Allah mencabut keberkahan dari harta tersebut. Karena bagi seorang muslim, bukan banyaknya harta yang dimilkinya, melainkan seberapa banyak keberkahan yang terdapat pada harta itu.
Berkah terambil dari bahasa arab, yang mana asal kata ini terdiri dari tiga huruf, yaitu ba-ra-ka (برك) lalu kata ini mengambil perubahan menjadi barakah (بركة) , yang mana maknanya juga berubah. Dalam kitab al-Munjid fil Lughah dijelaskan bahwa kata barakah adalah bertambahnya kebaikan, ketenangan, dan pembersihan. Jadi, dari sini bisa disimpulkan bahwa orang yang mendapatkan rizkinya secara berkah, maka ia akan mendapatkan kebaikan dan ketenangan dalam hidup, sekalipun harta yang dimiliki tidak banyak dan hanya cukup untuk kebutuhannya sehari-hari saja.
Harta yang berkah bukan hanya menjadikan kehidupan seseorang tenang dan nyaman. Tapi lebih dari itu, seseorang akan memperoleh kenikmatan yang tak terhingga kelak di akhirat, yaitu berupa surga. Karena di antara ciri-ciri penghuni surga adalah ia selalu berusaha menjauhi apa yang telah Allah haramkan di dunia dan mengerjakan apa yang telah diperintahkan-Nya. Dan jannah adalah balasan bagi seseorang yang semasa hidup mencari harta yang berkah dan halal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H