Istilah 'malpraktik medik' diadopsi dari istilah dalam bahasa Inggris 'medical malpractice'. Secara harfiyah, 'medical malpractice' artinya 'bad medical practice' atau 'praktik kedokteran yang buruk'. Â Dalam literatur berbahasa Inggris juga dikenal istilah lain yang memiliki makna serupa yaitu 'medical negligence'. Beberapa penulis Indonesia menggunakan istilah 'kelalaian medik' sebagai terjemahan untuk 'medical negligence'. Dengan demikian, praktik kedokteran yang buruk tersebut secara teknis disebut dengan istilah 'malpraktik medik' atau 'kelalaian medik'. Meskipun kedua istilah tersebut sebenarnya mengacu pada konsep yang sama, namun banyak penulis Indonesia yang salah faham dan mengira 'malpraktik medik' dan 'kelalaian medik' merupakan dua hal yang berbeda, sehingga secara spekulatif mereka mencoba untuk menjelaskan perbedaan keduanya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, secara harfiyah 'malpraktik medik' artinya 'praktik kedokteran yang buruk'. Kapankah praktik kedokteran (medical practice) itu dianggap 'buruk', atau lebih spesifik lagi kapankah tindakan medis (medical treatment) itu dianggap 'buruk'. Tindakan medis atau tindakan kedokteran dianggap 'buruk' jika mengabaikan standar pelayanan kedokteran (standard of medical service). Dengan demikian dapat dimengerti bahwa istilah malpraktik medik itu pada dasarnya merujuk pada tindakan kedokteran yang tidak sesuai standar pelayanan kedokteran (the failure to comply with the standard of medical service). Memahami malpraktik medik dengan cara demikian ini lebih sesuai dengan pemahaman masyarakat global.
Berdasarkan ketentuan Pasal 79 huruf (c) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, tindakan medis yang tidak sesuai standar pelayanan dapat dituntut secara pidana. Pasal tersebut memuat ketentuan pidana terkait pelanggaran kewajiban dokter yang diatur dalam Pasal 51. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 tersebut, selain diwajibkan untuk memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional (huruf a), dokter juga diwajibkan untuk merujuk pasien ke dokter lain yang lebih ahli dalam kasus yang ia tak mampu tangani (huruf b), menjaga rahasia pasien (huruf c), memberikan pertolongan darurat (huruf d), serta menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran (huruf e). Pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban yang diatur dalam Pasal 51 huruf (a), huruf (b), huruf (c), dan huruf (d) tersebut diancam dengan pidana denda paling banyak lima puluh juta rupiah.
Meskipun ada ketentuan pidana terkait pelanggaran standar pelayanan kedokteran, namun dalam praktik tuntutan pidana terhadap pelanggaran hukum semacam ini sulit dilakukan. Mengapa demikian? Karena pelanggaran tersebut terjadi di ruang-ruang pemeriksaan atau ruang-ruang operasi di klinik atau di rumah sakit. Tidak ada yang tahu bahwa seorang dokter telah melanggar prosedur pemeriksaan atau prosedur operasi kecuali si dokter itu sendiri serta crew yang membantunya. Jika pelanggaran hukumnya tidak terdeteksi, maka pelanggaran hukum itu dianggap tidak pernah ada. Bagaimana tuntutan hukum akan dilakukan jika tidak ada pelanggaran hukum?
Tindakan medik yang tidak sesuai standar pelayanan medik memang merupakan sebuah pelanggaran hukum, bahkan menurut ketentuan Pasal 79 huruf (c) di atas, merupakan tindak pidana. Namun pelanggaran hukum semacam ini memang tidak harus membawa akibat berupa tuntutan hukum, apalagi tuntutan pidana. Selain karena faktor pembuktian yang sulit, tuntutan pidana tersebut juga kurang bermanfaat, bahkan cenderung kontraproduktif. Jika diasumsikan bahwa tuntutan pidana membawa misi perlindungan terhadap kepentingan publik (public interest), lalu kepentingan publik yang mana yang hendak dilindungi?Â
Pelanggaran terhadap standar pelayanan kedokteran memang bisa menimbulkan kerugian pada pihak pasien, tetapi tidak selalu demikian. Jika pasien tidak mengalami kerugian, lalu atas dasar apa tuntutan pidana tersebut dilakukan? Jika pun pasien menderita kerugian, kerugian tersebut bersifat individual dan perlindungan hukum terhadap kepentingan individu (individual interest) merupakan ranah hukum perdata, bukan ranah hukum pidana. Hukum pidana memiliki tujuan khusus dan sifat khusus. Selain bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kepentingan publik, hukum pidana juga bersifat ultimum remidium.Â
Berdasarkan uraian di atas, maka tuntutan hukum terkait pelanggaran standar pelayanan kedokteran lebih tepat dilakukan dengan gugatan perdata dan dipersyaratkan adanya unsur kerugian pasien (patient's damage). Jika tidak ada unsur kerugian, maka gugatan perdata tidak dapat dilakukan dan kesalahan dokter harus dimaafkan karena pada dasarnya setiap orang bisa berbuat salah dan berbuat salah itu manusiawi (to err is human).
Mengingat begitu pentingnya faktor kerugian pasien, maka malpraktik medik harus didefinisikan dengan mempertimbangkan faktor tersebut. Dengan demikian, malpraktik medik dapat didefinisikan sebagai "kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medis yang mengakibatkan timbulnya kerugian pada pihak pasien". Kelalaian dokter yang dimaksudkan di sini adalah mengabaikan standar pelayanan kedokteran. Berdasarkan definisi tersebut, maka malpraktik medik memiliki unsur-unsur sebagai berikut: (a) ada kelalaian dokter; (b) ada kerugian pasien; dan(c) adanya hubungan kausal antara kelalaian dokter dengan kerugian pasien.
#HukumKesehatan #HukumKedokteran #MalpraktikMedik #KelalaianMedi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H