Agenda demokrasi nasional yaitu Pemilihan Umum pada tahun 2024 sudah mulai menggeliat dan sangat terasa euforia-nya sejak belakangan hari ini. Semenjak ditetapkannya nomor urut partai politik yang menjadi partai resmi peserta Pemilu 2024 oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) Republik Indonesia, banyak pula para petinggi partai baik ditingkatan pusat maupun daerah mulai memanaskan "mesin" politiknya. Tidak terkecuali bagi partai penguasa di daerah yang memenangkan kader partainya menjadi pemimpin di suatu daerah, baik itu para gubernur, walikota maupun bupati pada daerah tersebut.
Pada satu sisi dengan terpilihnya seorang kader partai menjadi pejabat publik di suatu daerah tentu memberikan keuntungan secara elektoral bagi partai pendukung maupun pengusungnya, namun pada sisi lainnya tentu menjadi dilematis bagi seorang pemimpin yang idealis dan lebih mementingkan kepentingan publik juga patuh akan amanat UUD 1945 dimana demokrasi adalah bentuk kedaulatan rakyat sebagai penentu utamanya. Bukan justru dengan penyalahgunaan kewenangannya sehingga serta merta dapat menggerakkan dan cenderung memasukkan agenda formal suatu daerah yang disusupi oleh unsur politis semi kampanye. Hal ini sangatlah menjadi suatu kemunduran demokrasi pada tingkatan daerah, mengingat cara-cara kotor strategi politik seperti abuse of power, money politic, serta black campaign sangatlah merusak tatanan bernegara yang telah banyak digaungkan akan lebih baik daripada Pemilu sebelumnya.Â
Seringkali terdapat pula agenda politik dibalut dengan undangan maupun himbauan bagi pejabat publik di suatu daerah untuk menghadiri acara partai yang sepatutnya itu tidak dilakukan karena ASN maupun pejabat publik seharusnya bersikap netral dan sangatlah dilarang mengikuti kampanye partai politik sebagaimana pada Pasal 280 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Baik itu agenda kampanye maupun bukanlah agenda kampanye, sepatutnya ASN maupun pejabat publik haruslah menghindari syakwasangka keberpihakan politiknya pada suatu partai.Â
Pada tingkatan terbawah sekalipun, terdapat aturan dimana pejabat publik dalam hal ini yaitu kepala desa berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa pada Pasal 29 huruf (g) disebutkan bahwa kepala desa dilarang menjadi pengurus partai politik, juga pada huruf (j) dilarang untuk ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah.
Dalam hal tercapainya demokrasi yang berkeadilan, seharusnya pejabat publik haruslah pandai menempatkan dirinya dalam politik praktis yang sangat kompleks juga banyaknya benturan kepentingan agenda partai di tahun politik seperti saat ini. Sepatutnya pejabat publik yang dipilih oleh rakyat tidak mempergunakan kekuasaan serta jabatannya untuk menekan maupun memerintah pejabat setingkat dibawahnya agar selalu patuh dan tunduk pada perintahnya, terlebih jika terdapat unsur muatan politis pada agenda acara formal apapun baik itu agenda di pemerintahan maupun agenda partai. Jangan ada lagi kemerdekaan berdemokrasi yang tercoreng oleh oknum petugas partai yang tidak menempatkan kekuasaan rakyat dan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Tidak ada lagi penyalahgunaan wewenang (abuse of power)Â pejabat publik, siapa pun itu. Salam 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H