Belum pada pernah ke Pura Curug Nangka kan? Hehehe…. Saya pernah. Tepatnya di Sabtu kemarin tgl 15 November. Tempatnya di daerah Ciapus Bogor. Anda googling tempat tersebut saya jamin pasti engga ada hahaha… Karena memang tidak ada, yang ada Pura Parahyangan Agung Jagakarta dan Curug Nangka, dua tempat berbeda yang lokasinya tak terlalu terpisah jauh.
Kalau ingat perjalanan ke sana tuh rasanya masih agak gemes, kesel tapi sekaligus juga geli. Mungkin juga sebagai peringatan bahwa apa yang kita rencanakan tidak selalu terlaksana, ada kekuatan lain yang bisa mengubahnya. Rencana saya dan teman-teman sebenarnya adalah ke Pura Jagakarta, menurut info di google Pura ini adalah pura terbesar di Pulau Jawa dan merupakan pulau kedua terbesar se Indonesia setelah Pura Besakih di pulau dewata. Pura yang namanya berarti alam dewata suci sempurna ini merupakan tempat ibadah dua agama yaitu Hindu dan Budha, di sana juga konon tempat moksanya Prabu Siliwangi. Pura ini nampak megah dan mempunyai pelataran yang indah, yang semuanya masih saya lihat dari google. Berdasarkan informasi dari google itu saya sudah membayangkan akan berfoto-foto dan menikmati sejuknya alam yang masih segar. Rencana awal sih saya mau ke sana dengan memakai rok, biar nampak lebih sopan dan lebih perempuan, tapi tidak jadi karena ada rencana naik ojeg. Saya memilih menggunakan baju berbulu yang masih saya tambah dengan baju panjang sebagai dalaman, untuk mengantisipasi hawa dingin gunung Salak yang akan menyeruak.
Sabtu pagi kami kumpul di terminal Rawamangun dan menggunakan 49 menuju stasiun Manggarai. Sampai di Manggarai sarapan dulu sebentar, beli tiket, dan naik kereta. Penuh, jadi terpaksa berdiri dari Jakarta ke Bogor. Sampai stasiun Bogor melanjutkan perjalanan dengan menggunakan angkot arah BTM, trus lanjut lagi angkot ke arah Ciapus. Dengan angkot ini kami melobby untuk diantar sampai ke Pura, agar tidak perlu ganti ojeg. Secara posisi sudah pewe, dan Alhamdulillah dengan harga murah kamipun diantar sampai ke Pura. Sampai di depan Pura, kami menyempatkan dulu mampir ke warung untuk minum, dan kabar “indah”pun kami peroleh. Hari itu bertepatan dengan adanya acara sembahyangan di Pura sehingga pengunjung dilarang masuk. Ibadah ini rupanya ibadah besar, karena kalau menurut google, bila ada sembahyanganpun pengunjung boleh masuk dengan pintu yang berbeda walaupun maksimal hanya boleh sampai di pelataran. Nah, khusus saat itu, naik ke pelataranpun tak boleh. Sedih.
Engga mau rugi, pokoknya kami harus meninggalkan jejak di situ, maksudnya harus ada foto kita di situ. Jadi sebelum meninggalkan pura kami tetap foto-foto sampai batas gapura yang dilarang masuk. Setelah dirasa cukup, kamipun memutuskan untuk pindah tempat ke curug, tempat wisata terdekat. Yah, sepertinya itu solusi tepat untuk menghibur kami. Kamipun carter angkot yang kebetulan ada untuk membawa kami turun di pos ojeg dan menuju ke curug Nangka. Angkot tidak boleh mengantar kami ke curug Nangka oleh ojeg di sana. Bayar loket dua kali, dan sampailah di Curug Nangka.
Dan tersadarlah, kalau menuju curug itu harus menaklukkan tanjakkan, menyeberang sungai, melompat dari 1 batu ke batu lain, menahan kaki agar tidak tergelincir saat melewati tanah yang basah. Sungguh, baju berbulu membuatku semakin gerah, sandalku pun bukan sandal gunung, jadi tidak begitu tepat digunakan di jalan licin yang menanjak. Sempat dilema juga, dipakai rada licin, kalau dibuka kakinya sakit. Akupun memutuskan tetap memakai dan mencoba jalan pelan-pelan agar tidak terpeleset. Toh masih ada temanku yang lebih salah sandal, dia memakai sepatu boots yang membuatku was-was kalau bootsnya akan rusak.
Untunglah dibalik perjalanan yang saya anggap lumayan berat itu, selalu terpampangkan keindahan alam yang membuat adem hati. Sungai dangkal yang bening dengan air segar mengalir. Di dinding tebing juga kadang kita temui air gunung yang menetes bagai butir air mata bunda, dingin namun tidak membekukan, melainkan menyejukkan. Barisan pohon cemara yang menebarkan permadani merah mengundang kami untuk meletakkan penat walau sejenak. Hijau tanaman dan pepohonan di kanan kiri jalan menyegarkan mata dan pernafasan. Ah, indah nian. Sudah lama tak saya rasakan terangkul dalam dekapan alam seperti ini.
Curug Nangka ternyata air terjun yang lumayan tinggi, membuat kita merasa kerdil saat menatap ujungnya. Megah, kadang seperti menghilang saat kabut mulai turun perlahan. Sebenarnya belum puas memanjakan lamunan di tempat sesegar ini, namun kami harus segera pergi. Mendung mulai pekat,saat di bawah sudah diperingatkan orang kalau hujan datang berpotensi air bah. Kami pun turun sedikit tergesa, karena rintik hujan sudah mulai tiba. Alhamdulillah sebelum hujan deras mengguyur, kami sudah bisa meneduhkan diri di warung bawah. Lelahpun terasa, kami pun beristirahat, makan dan sholat di warung tersebut hingga ada angkot yang bisa kami sewa untuk mengantar kami ke stasiun Bogor. Walau ada tanya tak terjawab, kenapa ada angkot yang bisa masuk, tadi katanya engga bisa.
[caption id="attachment_355087" align="alignnone" width="300" caption=""][/caption]
[caption id="attachment_355091" align="alignnone" width="300" caption=""]
[caption id="attachment_355093" align="alignnone" width="300" caption=""]
[caption id="attachment_355095" align="alignnone" width="300" caption=""]
[caption id="attachment_355096" align="alignnone" width="300" caption=""]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H