Mungkin ada di antara kita yang pernah membaca atau mendengar dongeng tentang seekor rubah dan buah anggur. Alkisah ada seekor rubah di bawah pohon anggur yang ingin meraih buah anggur yang sudah masak dan tampak ranum. Namun setelah beberapa kali mencoba meraihnya Sang Rubah tak juga berhasil mendapatkan buah anggur tersebut. Karena frustrasi dan kesal rubah itu lalu misuh atau mengumpat dan berkata, "Ah, sudahlah, paling-paling buah anggur itu rasanya masam".
Dalam perspektif psikologi sikap dan perilaku Sang Rubah di kisah itu disebut sebagai defense mechanism di mana Sang Rubah mencoba meredam kemarahannya dengan melakukan denial atau penolakan terhadap rasa buah anggur dengan memberi 'pelabelan' atau stempel masam terhadap buah anggur yang gagal diraihnya. Bentuk-bentuk defense mechanism seperti denial pada kasus rubah tersebut alih-alih menjadi semacam emotional rescue dapat pula menjadi destruktif.
Para tukang stempel biasanya menyetempel orang-orang yang berbeda pendapat tentang berbagai hal dari soal pilkada, politik, budaya, agama, dan lain-lain. Dalam menalar suatu perbedaan para tukang stempel cenderung menerapkan prinsip hitam putih dan sepertinya masih terobsesi oleh peristiwa yang sudah berlalu sehingga jika ada pihak yang opininya berbeda maka serta merta langsung dikaitkan dengan hal yang telah berlalu tersebut. Bahkan jika nalar sudah buntu, di ujung sebuah twitwar seorang tukang stempel akan menantang Anda untuk berduel secara fisik.
Ahoker, Jokower, Cebonger, merupakan stempel-stempel yang masih menjadi favorit di kalangan para tukang stempel yang mereka berikan kepada orang-orang yang berbeda pendapat mengenai soal politik, kebijakan pemerintah, hingga aspek-aspek yang bersentuhan dengan ranah keagamaan. Para tukang stempel ini melihat orang yang berbeda pendapat secara monodimensi tanpa menelaah, menelisik, apalagi meriset. Mereka seperti para pemalas yang berprinsip what I see is what it is. Jadi misalkan Jokowi suka minum teh lalu saya juga suka minum teh maka saya akan dianggap sebagai pendukung Jokowi dan layak diberi stempel sebagai 'Jokower'.
Terhadap alim ulama yang pencerahannya dianggap pro pemerintah meskipun buku-buku kajian dan uraiannya menyejukkan publik, stempel yang belakangan ini ngetren adalah 'Syiah'. Jangan berharap bahwa para pemberi stempel 'Syiah' itu akan menelisik dan melakukan riset mengenai apa itu Syiah apalagi menulis buku berjilid-jilid sebagai tandingan untuk menyanggah buku-buku tulisan ulama yang distempelinya itu.
Alih-alih melakukan sanggahan yang agak ilmiah mereka justru lebih suka mencari-cari bahan nyinyiran yang mereka anggap bisa menjadi pembenaran dan memberi kepuasan masturbatif bagi stempelisasi yang mereka lakukan. Dan yang dijadikan bahan nyinyiran bisa berkisar pada apa mazhab narasumber yang menjadi rujukan yang dikutip oleh alim ulama itu, hingga ke gaya busana putrinya yang belum berhijab, bahkan afiliasi institusional menantunya.
Pencarian bahan nyinyiran juga dapat melebar ke entitas-entitas yang berkait dengan pihak yang dianggap sebagai anggur masam. Bak pakar semiotika, dengan metode othak-athik-gathuk dan diselingi sedikit halusinasi, para rubah bisa nyinyir mempersoalkan logo di uang kertas yang mereka anggap mirip dengan lambang komunis. Untungnya sejauh ini belum ada usulan agar para pengendara menggunakan jalur di kanan jalan dan tidak di kiri jalan agar tidak distempel sebagai pendukung gerakan kiri atau pro komunis.. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H