Mohon tunggu...
Endok Asin
Endok Asin Mohon Tunggu... -

Suka menyusuri jalanan dari kota hingga sudut kampung. Sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalis, Profesi Terbuka yang (Harus) Profesional

5 Desember 2013   19:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:17 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Wartawan atau jurnalis merupakan sebuah profesi, seperti halnya dokter,  pilot, akuntan, apoteker, dosen, hakim, jaksa, pengacara, atau notaris. Untuk menyandang profesi itu, bukanlah mudah hanya didapat tanpa sebuah ilmu.
Meski jurnalis adalah profesi yang terbuka, profesionalisme atau suatu sikap yang menunjukkan sebuah komitmen dan kesungguhan seseorang terhadap profesinya harus dilakukan.
Seperti di profesi lain, misalnya pilot. Sebelum menjadi pilot, ia harus menempuh pendidikan dengan seleksi yang ketat. Setelah dinyatakan lulus pun ia tidak dengan mudah menerbangkan pesawat. Harus menjadi co-pilot, kemudian menerbangkan pesawat kecil terlebih dahulu. Bahkan, untuk menerbangkan pesawat berbadan besar, ia harus melakukan uji kualifikasi terlebih dahulu.
Begitu pula dengan jurnalis,  kualifikasi tentang jurnalisme harus dimiliki sebelum terjun ke lapangan. Jurnalis harus mengetahui hakekat profesinya, aturan main yang baku (standar jurnalistik), rambu-rambu (kode etik dan regulasi pers), dan memiliki kecakapan dalam wawancara dan menulis, setidaknya.
Hal ini perlu supaya tidak merugikan media sendiri, narasumber, dan publik nantinya. Sebab bagaimanapun karya jurnalistik yang dihasilkan akan dibaca atau didengar atau ditonton publik. Begitu diwartakan kontan masuk ranah publik.
Menjadi jurnalis juga tidak boleh spekulatif atau main-main.  Meski, faktanya tidak demikian: masih jauh panggang dari api. Dari pengamatan penulis, jangankan reporter baru, jurnalis yang telah memiliki jam terbangnya tinggi pun banyak yang belum menguasai pengetahuan elementer. Sebutan jurnalis yang profesionalis pun masih jauh.
Di Swedia, misalnya, ada juga ketentuan bahwa sarjana dari jurusan jurnalistik saja yang boleh menjadi wartawan.  Di Indonesia sendiri baru dalam beberapa tahun terakhir saja lembaga pendidikan yang memberikan pendidikan kejurnalistikan.
Memang ada media yang melatih dulu calon wartawannya sebelum melepaskan mereka ke lapangan seperti Kompas misalnya, yang mewajibkan calon reporternya mengikuti in-house training sekitar setahun sebelum mereka terjun ke lapangan.    Majalah Tempo pun melakukan hal yang sama tapi dengan waktu yang lebih singkat.
Alhasil, untuk menjadi jurnalis professional, harus berprinsip menyajikan  fakta, cover both-sides dan cover all-sides, keberimbangan (dengan check and recheck dan triple check serta  bersikap imparsial) dan menjaga akurasi tentunya sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Secara sedehana, jurnalis professional pasti mampu menyuguhkan berita yang berbobot, bukan talking news dan dangkal karena faktanya tipis. Secara teknis, terjaga dari sudut beritanya (angle), judul, pembuka (lead) nilai berita, narasumber, keberimbangan informasi, penggalian informasi, verifikasi, latar belakang masalah dan akurasinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun