Ketika Pria Membicarakan Cinta
Sebuah Catatan Tentang ISI HATI
“Tidaklah bisa kita menilai orang lain hanya dari segi fisik. Kekuatan hati lebih utama!” celetukku beberapa detik yang lalu.
“Hmm, tapi! Semua keutamaan ada dalam keiklasan untuk saling memahami, untuk saling mengerti tentang apa yang ada pada orang lain. Apakah ada yang mengetahui tentang cinta itu sebenarnya adalah apa? Orang-orang yang merasakannya adalah orang-orang yang beruntung. Keindahannya tiada batas dan juga tidak terbatas! Banyak kok yang nyari pasangan ke sana kemari, berharap yang paling baik eh nemunya malah BAJINGAN!!” sahut sahabatku sambil menghela nafas.
“Bro! Setiap orang itu ingin yang terbaik! Berharap akan sebuah cintayang tidak pernah terbatas. Hanya saja pada realitas kenyataannya, semuanya keinginan kita itu dibatasi oleh apa yang kita lakukan. Meniti jalan yang belum tentu benar, bukan berarti kita salah selamanya. Masih ada kemungkinan untuk menuju arah yang benar!” Obrolan mulai ngelantur pada fase ketidak selerasan kalimat.
“Yang jelas Bro! Cinta akan datang tanpa bisa di tebak kapan datangnya. Cinta itu datang tiba-tiba, tidak bisa dijadwalkan sperti waktu Sholat! Juga akan hilang dengan tanpa kita sadari!”
Aku terdiam, mengamati sahabatku dengan asap rokok keduanya yang mengepul tebal. Rokok yang tinggal sescenti itu dihisapnya dalam-dalam sebelum ditaruhkan kedalam asbak.
“Ketulusan hati, bisa terlihat dari senyum yang terlontar. Dari desah nafas untuk saling mengerti. Bukan paksaan yang merajai rasa itu sendiri. Cinta benar-benar menyimpan keindahan yang melingkar dengan detak-detak rasa yang memang sangat indah!” lanjutnya lagi tanpa memberi aku memberikan sedekah komenter atas kalimat sebelumnya.
“Apa-apa yang kita miliki, tidaklah kekal. Semua akan sirna seiring waktu itu sendiri. Memandang hati haruslah dari hati, mengerti cinta harus dengan cinta. Menemukan cinta harus mencari. Dan kita juga harus tau bahwasanya cinta akan beralu seiring dengan waktu, berganti dengan sayang dan tanggung jawab,” sambungnya lagi kini dengan kalimat yang lebih panjang.
Aku memilih diam, menyandarkan tubuh letihku di sofa. Sesekali aku menggaruk punggungku yang tiba-tiba terasa gatal oleh gigitan ‘tinggi’ kutu sofa paling menyebalkan namun sering kali membantuku mengusir kantuk.
Aku sendiri tidak pernah sadar dari mana awal pembicaraan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Toh aliran alur pembicaraannya juga nggak jelas mau dibawa ke mana. Yang aku mengerti dari obrolan aneh itu hanya sedikit, dan itu belum tentu benar. Kira-kira kesimpulannya begini, “ketika kita mencari yang terbaik, belum tentu yang kita dapatkan itu yang terbaik. Bisa jadi malah sebaiknya. Berharap pasangan yang baik tapi yang kita dapatkan adalah BAJINGAN!” kata bajingan ini sedikit mengganggu, tapi tidak apalah, toh hanya sekedar penggambaran saja.
@endikkoeswoyo
Ruang Tamu, Jogjakarta 30-05-2012
23.03 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H