Seorang ilmuwan Jepang, Doktor Masaru Emoto dari Universitas Yokohama telah melakukan penelitian tentang perilaku air. Hasilnya: ternyata air dapat merespon bahasa manusia.
Molekul air membentuk susunan yang indah (seperti pijar kristal) tatkala bersentuhan dengan kata-kata indah. Sebaliknya, bergerak acak dan menghasilkan susunan yang jelek, begitu dikirimkan kata-kata negatif.
Memang temuan ini masih bersifat riset dasar, dan barangkali baru cocok memperkaya khasanah ilmu-ilmu murni. Tapi membuka peluang untuk mengerek keyakinan kita bahwa bahasa itu tak melulu soal komunikasi atau transmisi. Melainkan juga energi.
Beberapa pakar komunikasi telah menyebut-nyebut fajar baru dalam praktek komunikasi, yakni meta komunikasi. Penjelasan lanjut atas praktek meta komunikasi menjurus pada pelebaran ruang perhatian baru untuk aktivitas komunikasi. Dulu, komunikasi hanya tekun mengulik saling hubungan antar manusia (dengan atau tanpa perantara media). Kini, dalam meta komunikasi, hal-hal di luar manusia (alam, ruang, waktu, dan mahluk hidup yang lainpun), terlibat dalam proses komunikasi.
Dengan kata lain, praksis komunikasi kita akan bergaung ke mana-mana. Sepertinya memang ada kaitan dengan ajaran-ajaran motivasional para tokoh kaliber, yang berpesan agar kita hati-hati dalam mengeluarkan kata-kata, dalam memelihara pikiran, dan dalam melontarkan wacana.
Pikiran sungsang, kata-kata buruk, serta nafsu negatif dalam diri kita akan ke luar dan kemudian direspon oleh alam semesta. Mestakung (semesa mendukung), kalau mengutip istilah Yohanes Surya. Atau mengikuti hukum tarik menarik dan tolak menolak, jika mengutip terma Rhonda Byrne, dalam buku The Secret.
Kini mari sama-sama jujur melakukan interogasi personal. Reproduksi kata-kata, intensitas dalam merespon informasi publik, dan kerelaan dalam menyebarkan pesan ke sesama (via media sosial), adalah kegiatan rutin kita sehari-hari.
Lalu, apakah semua itu berlangsung dalam zona optimis dan ke luar dari kalbu bersih?
Atau justru sekedar melesatkan sumpah serapah?
Lebih-lebih dalam inflasi informasi (politik) belakangan ini. Publik seolah pelari marathon yang bernafas kuda. Tak pernah lelah mereproduksi teks, gambar, suara, yel-yel, slogan, untuk kemudian saling bertukar ke sesama.
Sayangnya, semua itu terlihat begitu sumir dan kental dengan pemihakan buta. Bentuk ekspresi publik dalam merespon isu-isu politik cuma memperkental pola binary oposition, alias pemikiran dangkal dan terbatas. Seolah hanya ada dua bentuk sikap, yes or no option. Semata terkutub pada dua pihak: kawan dan lawan. Seperti terperangkap dalam kubu "kita" dan "mereka".