Para zending dan missionaris Katolik (misalnya dari Ordo Jesuit, Franciscus Xaverius) disebut-sebut sebagai Guru Moderen pertama di Nusantara. Mereka mendidik jemaat di “ladang penggembalaan”. Beberapa tempat yang menjadi cikal bakal pendidikan moderen ini berada di Ternate, Ambon (Maluku), Tondano (Sulut) dan Bukit Tinggi (Sumbar).
Penyebutan moderen ini pantas disematkan jika berpatok pada basis keilmuan yang disebarkan. Tak melulu ke-agama-an, melainkan juga khasanah ilmu sekuler, science, dasar-dasar teknik, dan berkiblat Eropa (sebagai kiblat keilmuan saat itu).
Argumentasi bahwa para Missionaris dan Zending bergulat dengan kemampuan keilmuan moderen adalah sederhana, bahwa mereka sebenarnya adalah individu cendekiawan di negara asalnya, lalu mengabdi menyebarkan Kabar Baik (Gospel, God Spel) di pelosok Nusantara. Tak mungkin kalau mereka hanya ceramah Agama, karena mereka juga berjibaku dengan problem-problem sosial di masyarakat yang dikunjungi. Melakukan penyembuhan fisik, ikut membangun fasilitas teknik sederhana, dan menyemaikan cara-cara hidup sehat dan produktif.
Garis demarkasi atau pemisah antara pola pendidikan yang kita sebut barusan, bukan berarti mengesampingkan ikhtiar tekun dari para pendidik yang telah hadir jauh-jauh hari.
Sebutlah itu, para Sarjana atau Ulama Pengelana (Wandering Scholar). Istilah Sarjana dan Ulama ini bukan khas keagamaan tertentu. Melainkan jatuh pada makna dasarnya, yakni orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan spesifik dalam ilmu pengetahuan. Dan itu artinya, merasuk dalam periode terjauh di negeri ini.
Novel Arus Balik misalnya, yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer, menuturkan pola pengajaran-pendidikan oleh “Para Pencerita atau Pendongeng” di era Paska Majapahit (melalui sosok tokoh Rama Cluring). Mereka adalah para penganut Hindu, Budha, atau Syiwa, yang memberikan pencerahan kepada rakyat jelata. Mereka tidak mukim di satu titik, melainkan jalan-jalan ke berbagai lokasi, dengan tujuan membangkitkan daya-daya akal budi kawula-sahaya.
Etape lanjutan beranjak kepada peran-peran aktual para pendidik dari kalangan Islam. Jaringan Ulama yang telah terbentuk (dari Nusantara, Gujarat, Yaman, dan beberapa kesultanan di Timur Tengah), mobilitas para guru Islam yang sangat dinamis (mereka juga ikut dalam arus perdagangan klasik saat itu), dan sumber ketokohan yang mengakar (misalnya para Wali Sanga), ikut menyemaikan bibit-bibit manusia terdidik di jazirah nusantara.
Pembuktian aktual atas jasa para guru klasik ini nyata terdeteksi. Pelbagai karya-karya pengetahuan bermunculan di tangan mereka. Saat ini, sejumlah ahli ilmu-ilmu klasik, yakni filolog (ahli naskah kuno) menyebut begitu banyak Babad, Wawacan, Hikayat, Kidung, yang pernah ditulis di negeri ini.
Jangan salah, isi karya-karya susastera itu tak melulu puja-puji tentang dewa atau raja, melainkan juga suasana sosial saat itu. Belakangan juga terungkap, reproduksi pustaka klasik itu bahkan sudah ada yang bersentuhan dengan ilmu-ilmu iklim (atau jangka dalam teks Jawa), dasar-dasar Geografi plus Demografi (misalnya Kidung Bujangga Manik dari Jawa Barat), psikologi (dalam berbagai Serat), kedokteran, dan politik (Kitab Pararaton, Sutasoma, dan lain-lain).
Satu hal pasti, para pencerita seperti Rama Cluring, para zending atau Missionaris, dan kuam ulama, berjasa karena membuka wawasan rakyat nusantara tentang begitu banyak hal. Selubung kebodohan tersingkap atas jasa-jasa mereka. Lepas dari kontroversi mistisme, feodalisme, dan kolonialisme yang melesak dalam memori historis bangsa ini, tetap saja mereka patut kita usung sebagai Para Guru Pencerah...
Gelombang sejarah terus berjalan. Nusantara lalu bersentuhan dengan rezim Kolonial. Pemerintah Hindia Belanda sempat membuka ruang bagi hadirnya pendidikan moderen dengan target terbatas. Suasana ideologis di Parlemen Belanda saat itu berada di tangan kaum liberal, yang mendesak lahirnya politik etis. Mereka percaya, surplus ekonomi yang pernah mereka nikmati akan langgeng andai di tanah jajahan hadir kaum bumi putera yang melek hurup. Paling tidak, pribumi yang terdidik bisa berguna untuk menjadi tenaga-tenaga bantu, entah di pabrik, loji, gudang, kebun, bengkel, fabrik, rel kereta api, kantor administratif, rumah sakit, sekolah, dan lain sebagainya. Jadi target pendidikan Belanda memang sempit, yakni menyediakan para Ambtenaar (priyayi, pegawai pangreh praja, tenaga administratif).
Lalu apa hasilnya? Nusantara lalu mengenal Dokter Jawa (lulusan STOVIA, rata-rata memang eksis di Pulau Jawa, terutama di sekitara Verstenlanden atau Kerajaan Mataraman). Kemudian juga mengenal Guru-Guru Priyayi, terutama priyayi alit atau elit sosial rendahan.
Novel Priyayi dari Oemar Kayam dengan sangat baik menceritakan kiprah para guru atau priyayi rendahan di dekade awal 1900-an. Para Guru telah menjadi kelas sosial penting saat itu, menikmati kondisi ekonomi cukup baik, terhormat, hidup dalam budaya yang khas Jawa, tetapi sekaligus memiliki dedikasi tinggi terhadap profesi yang disandangnya.
Belanda ternyata keliru. Kaum Bumiputera yang mereka didik ternyata tidak menjadi jongos yang patuh. Melainkan justru menggelorakan nasionalisme dan mengobarkan cita-cita kemerdekaan. Ini yang kita saksikan pada rentetan nama-nama besar, mulai dari tokoh-tokoh Budi Utomo, Taman Siswa, Syarikat Islam, Muhammadiyah, Al Irsyad, berbagai organisasi kedaerahan, dan lain-lain. Mereka termasuk diantaranya adalah para Guru (ingat saja nama Ki Hajar Dewantara). Malah bisa dibalik, apapun profesi para intelektual era itu, selalu sempat melakukan pendidikan. Entah melalui sekolah. Entah melalui kursus. Entah melalui pengkaderan. Entah melalui buku yang ditulis. Entah melalui pers. Dan lain sebagainya. Di periode ini, kita patut menyebut profesi Guru Pejuang!
Dua predikat sudah kita sematkan. Guru pencerah untuk para pendidik era klasik (para pencerita, missionaris, zending, ulama) dan Guru Pejuang untuk para priyayi dan tokoh-tokoh pergerakan. Lalu masuklah ke peribahasa Guru Tanpa Tanda Jasa. Ini khas untuk mereka-mereka yang tergolong Oemar Bakri versi Iwan Fals. Maksudnya, adalah tenaga pengajar yang bersusah payah untuk kemudian bernasib parah. Gaji kecil. Santutan terbatas. Dan guna menyambung hidup, bekerja serabutan (jadi pengojek, bertani, buka kursus, terima pesanan jahit, hingga jadi pedagang keliling). Agaknya cerita miris ini terjadi dari sejak kemerdekaan hingga ke era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Lantaran berikutnya jarum nasib berubah arah. Tak ada lagi sepeda Onthel, Vespa butut, dan Honda Bebek Kreditan di halaman parkir sekolah. Rumah-rumah para guru juga berjejer produk komoditas terkini. Jika dulu para guru menjadi elit sosial dan elit intelektual terkemuka, hari ini tak jelas.
Mereka bukan produsen dan konsumen wacana intelektual, melainkan penikmat barang-barang dan jasa komersial. Benda-benda yang mereka buru bukan produksi Gramedia, Mizan, atau karya pustaka dari para penerbit buku. Melainkan apa saja yang dikeluarkan Toyoto, Samsung, Toshiba, dan sejenisnya. Para guru hari ini jauh dari kategori kelas menengah kritis, melainkan lebih tepat disebut sebagai Kelas Konsumen Baru... Guru pengendara Avanza!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H