Para predator seks, penipu ulung, pemeras serakah, maniak judi, penjahat sadis, dan kaum psikopat lainnya seperti memperoleh senjata sakti via media sosial.
Dengan twitter, facebook, youtube, dan sejenisnya, mereka bisa memperoleh akses tak terbatas untuk mengakses praktek kotor yang digemari. Lantaran komunikasi daring (online) membanjiri ruang maya dengan semua itu (pornografi, judi, sadisme, vandalisme, dan pesan-pesan kebencian). Sekaligus bisa mengadopsi pola-pola kejahatan yang pernah terjadi. Ingat kejahatan selalu melahirkan para pengagum dan pengikut. Para pakar komunikasi telah lama mengetahui efek copying atau peniruan yang terkandung dalam isi media (termasuk media sosial). Media sosial menjadi surga bagi mereka yang mengidap kelainan jiwa…
Terjadilah ledakan kejahatan —mengiringi ledakan pengguna media sosial. Di Indonesia, kini tercatat puluhan juta pengguna media sosial, dan korban pun telah berjatuhan.
Bila dibuat daftar, begitu banyak jenis kejahatan sadis via media sosial. Aksi sekejam ini tak pernah kita kenal sebelum terjadi ledakan media sosial. Para pelaku kriminal seperti hanya memiliki naluri menghabisi dan kehilangan belas kasih. Tak sedikit aksi kriminal berlangsung berulang-ulang, terus menerus, dan itu terjadi karena senjata media sosial. Sepetik contoh: para gadis muda korban perkosaan, yang dilakukan berulang, kadang beramai-ramai, tetapi tak bisa melawan karena ancaman foto dirinya yang telanjang akan disebarkan ke khalayak. Pada jenis lain, ada pula praktek memeras korban —juga berulang-ulang— dengan cara menakut-nakuti korban (untuk dicemarkan nama baiknya, biasanya para pejabat yang sedang bermasalah).
Pun dengan maniak perusakan dan penghancuran, mereka berpesta pora menghabisi musuh, dengan menyebarkan pesan-pesan provokasi via saluran internet. Belakangan malah lahir trend yang membuncahkan penghinaan, olok-olok, pesan-pesan nista, dan informasi penuh kebencian melalui media sosial. Populer disebut dengan praktek bullying (menghina objek secara beramai-ramai). Dalam skala rendah, operasi bullying mungkin berdimensi psikis semata, tetapi tak sedikit yang berujung pada serangan fisik.
Secara kategoris, pelbagai tindakan itu melahirkan praktek-praktek baru dalam dunia kriminalitas, dan disebut cybercrime (kejahatan yang menggunakan medium dunia maya). Masing-masingnya: (1) Cyberporn (pornografi via internet); (2) Cyberterorism (terorisme melalui wahana internet); (3) Cyberexortion (mematai-matai dan mengintai aktivitas pihak lain tanpa izin); (4) Cybertalking (menyerang dengan kata-kata, dilakukan berulang-ulang); (5) Cybervandalizm (seruan dan provokasi untuk penghancuran objek tertentu, melalui pesan internet); (6) Cyberfroud (penipuan via internet), dan masih banyak lagi.
Daftar itu baru memasukan anasir-anasir kejahatan yang memang keras dan penuh daya rusak. Seraya berlangsung secara umum, korban dan pelaku adalah orang-orang biasa, dan tak membutuhkan keterampilan khusus. Bila disebut lagi bentuk perilaku kejahatan cerdik, yang samar, dan agak lunak (tanpa kekerasan fisik), maka jumlahnya akan jauh lebih banyak.
Contoh, merebaknya operasi pemalsuan dan perusakan data perbankan atau aktivitas perekonomian moderen berbasis IT, yang salah satu pintu masuknya melalui media sosial. Kejahatan jenis ini biasanya bermotif ekonomi, dilakukan oleh pihak yang terampil IT, menyasar korban secara acak, akan tetapi daya rusaknya sangat merugikan korban.
Sejauh ini, beberapa bentuk yang telah dikenal adalah: (1) Carding (menggunakan nomor dan identitas kartu milik orang lain untuk dipakai belanja oleh pihak yang tak berhak). (2) Hacking (menerobos program komputer pihak lain, dan memfungsikan secara tak sah); (3) Defacing (menyerang, merusak website pihak lain); (4) Phising (memancing pihak lain agar mengirim nomor identitas penting, untuk digunakan sesuai kepentingan pelaku); (5) Malware (mengirim virus atau program-program perusak software).
Jelas nyata, bahwa kejahatan internet menembus ruang fisik, imajinasi, dan bahkan memori kita. Tak ada tembok yang bisa jadi penghadang. Tak ada kamera yang bisa mendeteksi. Tak ada Satpam yang berjaga 24 jam. Tak ada teriakan keras yang membangunkan orang sekampung. Karena kejahatan internet memanipulasi kesadaran, memalsukan pikiran, meletupkan emosi diri, dan dalam berbagai tipe, terlihat seolah-olah tidak jahat alias biasa-biasa saja.
Tetapi ledakan kejahatan ini bukan berarti harus dihadapi dengan sikap tunduk dan linglung. Beberapa jenis kejahatan bisa patah oleh sikap personal para pengguna. Yakni efektif dalam bermedia sosial, tidak menghamburkan kemarahan ke khalayak, bijak memilih luberan pesan, dan cerdas dalam memanfaatkan media sosial. Demikian pula dengan kejahatan yang tergolong cerdas, yakni beroperasi dari kepiawaian menggunakan Teknologi Informasi, hal inipun bisa ditangkis dengan cara yang sama, yakni menyediakan sistem yang tak mudah dirusak. Yang lain, kejahatan berdimensi ekonomi, transaksi bisnis, dan operasi perbankan, bisa diminimalisir dengan mengedukasi masyarakat konsumen, untuk lebih berhati-hati dalam transaksi ekonomi.
Justru yang susah diatasi adalah pola kejahatan yang bersifat kolaboratif, melibatkan kerjasama antara korban dan pelaku. Maksud kerjasama adalah tahapan-tahapan awal yang memungkinkan pelaku menjerat korban (yang secara sadar terlibat dalam praktek yang merugikan dirinya).
Kasus-kasus pencabulan para gadis muda (yang lugu lalu tertipu), adalah contoh di level ini. Pemantik paling dini adalah adanya interaksi, para korban mulanya aktif membangun relasi dan komunikasi, bahkan dengan pihak yang tak mereka kenal dengan persis. Pun dengan kalangan remaja yang ramai-ramai berperilaku sadis dan anarkis (yang dihasut via media sosial). Mereka kerap tak sadar bahwa apa yang dilakukan bisa jadi bumerang, berbalik arah, kemudian menjadikan mereka seperti korban (misalnya anak sekolah yang tewas akibat tawuran yang dipancing oleh kicauan saling ejek antar sekolah di twitter).
Contoh lain kejahatan internet bersifat kolaboratif adalah pornografi. Bisa dibilang inilah penyakit melekat yang susah diberantas. Metode pemblokiran situs, pencegahan sistemik, dan kampanye penyadaran, seperti mematahkan punggung onta dengan jerami basah, nyaris tak berguna. Musababnya ada pada kerjasama saling menguntungkan antara produsen (yang menikmati keuntungan) dengan konsumen (sebagai pengakses). Yang bisa dicegah adalah pelebaran trend dan menekan dampak buruk. Jangan sampai pornografi menjadi hobi massal dan diterima begitu saja.
Catatan akhir, bahwa semua itu adalah kenyataan yang sedang berlangsung. Solusi yang kini tersedia juga menyedihkan, tak jauh dari kampanye moralitas dan pesan-pesan retorik. Padahal yang diperlukan adalah kerja-kerja sistematis. Organisasi perlawanan harus kuat, dan itu perlu menghadirkan otoritas negara. Masyarakat tak akan sanggup melawan sendirian. Waktu yang diperlukan juga cukup panjang. Langkah paling strategis yang niscaya adalah mempercayai bahwa pendidikan bermedia sosial harus segera dilakukan secara massal. Mumpung negeri ini belum jatuh dalam tirani kejahatan internet. Kita harus percaya bahwa masih banyak aktor dan agen perlawanan yang mampu mengatasi problem rumit ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI