Ternyata penolakan RUU HIP berhenti pada dua pasal yakni tentang Trisila dan Ekasila. Berbicara mengenai Trisila dan Ekasila sebenarnya bukan ha baru karena jauh sebelum keributan ini muncul pemahaman Trisila dan Ekasila pernah disampaikan oleh Ir. Sukarno lebih pada pemahaman pribadi Ir. Sukarno yang sudah tentu banyak dipengaruhi oleh wawasan, pemikiran dan pengetahuannya. Pemahaman mengenai Trisila dan Ekasila ini sudah khatam tidak menjadi wacana dan diwacanakan lagi dengan tercapainya consensus nasional perumus dasar negara dengan lahirnya nama "Pancasila".
Seharusnya polemik Trisila dan Ekasila tidak dibuka lagi karena sudah kehilangan ruh dan zamannya. Membicarakannya kembali sama artinya dengan memaksa memutar balik jarum jam dan pasti bertemu kembali dengan benturan dan gesekan panas antara para pendukung pengusung faham dalam merumuskan Pancasila dahulu, dan kenyataannya sekarang terjadi saat ini.
Pancasila sebagai Falsafah Negara, Ideologi Negara, Dasar Negara dan Kepribadian Bangsa Indonesia sudah seharusnya menempati kedudukan tinggi bahkan di atas konstitusi negara kita. Karena itu niatan DPR sebagaimana RUU HIP telah menurunkan derajat Pancasila menjadi norma yang lebih rendah bahkan nampak sekedar sandiwara legislasi yang serampangan.
RUU HIP ini bukan saja Langkah mundur bernegara, tetapi mengundang pemain politik non parlemen untuk turut pentas di panggung gratisan yang dibuat parlemen. Orang yang ingin mengganti Pancasila dengan khilafah pun mendapatkan karpet merahnya melenggang dan berteriak lantang membela Pancasila dan menyerang RUU HIP. Bahkan tuntutannya mulai ngaco dengan menuntut Presiden Jokowi mundur.
Nah loh....ada apa gerangan? Isu PKI pun dihembuskan lagi dan dituding telah menyusup dan berupaya mengganti Pancasila. Konteks PKI nya bisa menjadi positif jika personal yang dimaksud pendemo PKI itu ditunjuk hidung saja sehingga menjadi terang benderang, masyarakat tidak menduga-duga lagi siapa orang yang dimaksud PKI itu.
Memang setiap warga negara dijamin oleh konstitusi untuk menyampaikan pendapat atau berbicara baik lisan maupun tulisan, namun tetap dalam koridor hukum karena Indonesia adalah negara hukum bukan negara politik. Setiap orang atau Lembaga yang ingin mengganti Pancasila dengan faham lain harus di proses dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Yang demo ikuti aturan hukum, penegak hukum tegakkan hukum seadil-adilnya. Tindak tegas pendemo yang melanggar hukum, tindak tegas anggota parlemen yang melanggar hukum dan tindak tegas pula penegak hukum yang melanggar hukum. Begitu saja repot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H