Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Syukurlah, Kita (Mungkin) Bukan Jodoh

11 Januari 2012   10:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:02 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1326276975424312411

[caption id="attachment_155309" align="alignleft" width="300" caption="ilustrasi: metrotvnes.com"][/caption] .:: sebuah cerpen ::. "...maka, akan selalu indah jika kita begini saja. Sebuah hubungan tanpa ikatan, karena engkau pun, telah mengikatkan diri dengan pangeranmu. Justru momen yang indah menjadi hambar, pabila kita memaksa bersatu..." Dering khusus di telepon genggam itu menandakan orang yang juga khusus telah mengirim pesan singkat. Ya, benar. Sebuah sambutan atas sebuah janji. Janji apa lagi kalau bukan sebuah perjumpaan? Perjumpaan dan perjumpaan, senantiasa diikuti dengan janji untuk perjumpaan berikutnya, bukan? Dan, mengapa setiap perjumpaan demi perjumpaan, selalu harus membawa-bawa perasaan? Perasaan yang semakin dalam pula! Apalagi, bagi dua orang yang sepertinya benar-benar mabuk kepayang oleh...entahlah...mungkin semacam cinta. Ugh!!! Manis sekali. Bus besar itu berhenti di pinggir jalan, tak jauh dari waktu yang rutin tercetak dalam ingatan. Sore, merangkak menjadi senja, dan selalu begini di pinggir jalan itu di akhir pekan. Akan selalu ada seorang lelaki yang menanti penuh rindu, dan seorang wanita dengan anggunnya melangkah turun dari bus besar itu. Celingak-celinguk beberapa kejap, dan matanya bertumbukan dengan pandangan si lelaki yang telah menanti, tentu, dengan segumpal perasaan rindu. (Cemen!) Ada senyum di sana. Kadang, ada punya sengiran. Candaan. Atau wajah kusut, bawaan siksa pekerjaan yang rupa-rupanya terlalu menyedot otak. Ah, sebuah perjumpaan di senja yang begini teduh terkadang menjadi obat penawar penat. Lagi dan lagi, gazebo yang terdiam dalam bayang merelakan dirinya menjadi tempat berselonjor dua manusia yang menahan rindu hanya dalam satu pekan. "Cinta..." (Begitu selalu lelaki itu menyebut wanitanya, sebuah sebutan yang sinetron abis!). "Hmmm...?" "Aku ingin bercinta." Wanita itu tak terlalu terkejut. Ia asyik menikmati kacang rebusnya, sambil menahan senyum. "Kenapa?" "Karena aku cinta." "Lantas, cinta harus bercinta?" "Hahaha..." Hanya sampai di situ. Wanita itu tidak menjawab iya, tak pula mengatakan tidak. Ia malah berdiplomasi: Segala sesuatu ada waktunya.Grrr!!! Kadang pertemuan berakhir manis, ditutup makan malam romantis dengan cahaya bulan yang redup dan lembut, ditingkah lampu-lampu taman. Kadang, tak jarang, berakhir ricuh, huaaaa...mereka bertengkar hebat. "Untuk apa ketemuan, kalau cuma untuk begini? Satu minggu capek dengan kerjaan, eh, pas ketemu malah berantem? Arghhh..." Seperti sebuah ritual, lekaki itu mengantarkan wanitanya pulang. Wanita itu harus segera istirahat, karena besok sore, ia harus kembali ke kotanya. Menaiki bus yang sama, menyongsong kesibukannya. Ia akan sibuk lagi satu pekan ke depan. Kemuadian, entah, apakah mereka akan kembali membuat perjumpaan dan lagi-lagi perjumpaan di lain hari. Jika sedang bertengkar, lelaki itu hanya membisu sambil memacu sepeda motornya, mengantar wanitanya pulang. Wanitanya yang biasanya masih sabar, berusaha mengalihkan pembicaraan dalam perjalanan yang mulai dingin oleh cuaca malam, tetapi lelaki itu terlanjur pendendam. Ia marah, tapi tak mau meledak. Tapi, jika pertemuan itu tak lagi disertai pertengkaran, mengantar pulang menjadi perjalanan mengasyikkan. Cerita satu pekan belakangan seolah tak ada habis, meluncur dalam gelak dan canda. Ya, dua dua kota, dua perasaan, dua manusia. Lelaki itu mencoba berpikir sendiri, setelah kembali ke rumahnya. Ia ingin sekali tak berpikir memiliki cintanya, wanita itu. Ia hanya ingin begini, ya, hanya begini. Bersahabat, tetapi, barangkali, sedikit lebih intim. Bukankah akan selalu indah? Lama kemudian, ia hanya bisa termenung mengenang, manakala wanita itu telah berada jauh. Atau, lelaki itu yang pergi, entahlah. "Syukurlah, kita bukan jodoh. Mungkin, mungkin kita memang bukan jodoh..." gumamnya. Ia hanya termenung, dan masih mereka-reka, wanita itu bahagia dalam kehidupannya. Tentu, bersama orang yang lebih dicintainya. Lelaki itu memang tak pernah benar-benar bisa melupakan wanitanya. Barangkali, kebahagiaan hidup wanita itu, justru telah menenggelamkan ribuan kenangan tak terkatakan. Mungkin pula, wanita itu sudah tak mengingat lelaki yang masih sering membolak-balik memori lama, barangkali... * setelah lama tidak pernah lagi menulis cerpen, ah masih bisa rupanya hehe. meski cemen-cemen-alay-alay hehe SEVERIANUS ENDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun