Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Menulislah dengan Pena Bulu Ayam

23 Juni 2011   05:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:15 2079
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_115756" align="alignleft" width="148" caption="Ilustrasi. Sumber: galaxy-semesta.blogspot.com"][/caption] SEBELUM ada mesin ketik, pena dengan aksesoris bulu ayam tampak begitu elegan dalam foto-foto sejarah. Dalam film-film kolosal, kerap ditampakkan sang raja atau bangsawan atau ilmuwan masa itu, menulis sesuatu dengan pena cair. Saya sendiri pernah mencoba menggunakannya. Alkisah, saat SMP pada tahun 1993 di Ketapang, pedalaman Kalimantan Barat, saya tingga di asrama siswa milik bruder. Asrama itu sudah ada sejak angkatan ayah saya, sehingga beberapa perangkat lama dan kuno masih di temukan. Di gudang, saya temukan banyak sekali "mata pena", semacam mata pulpen yang terbuat dari logam berwarna kuning. Saya cari bulu ayam yang biasanya berhamburan di halaman belakang. Mata pena tadi saya pasang ke pangkal bulu ayam, dan saya bersiap untuk menulis. Setelah saya celupkan ujung pena ke dalam tinta, mulailah saya menulis di selembar kertas. Alangkah sulitnya! Tinta berhamburan ke sana ke mari, bentuk tulisan pun tidak karuan, dan rasa-rasanya tidak mungkin digunakan untuk mencatat pelajaran di sekolah. [caption id="attachment_115754" align="alignleft" width="280" caption="Aristoteles sedang menulis. Sumber: amundrasya.blogspot.com"][/caption] Pena Bulu Ayam: Kerja Keras Terbayang seperti apa kerasnya perjuangan para pemikir dan cerdik pandai nun di masa dulu, saat menyalin buah pikiran mereka pada selembar kertas. Saya kira, untuk menulis sesuatu dalam selembar kertas penuh, perlu perjuangan berat: kehati-hatian, tenaga, ketelatenan, dan waktu yang terbuang cukup banyak. Saya tidak tahu bagaima cara Plato, Aristoteles, Socrates dan orang-orang sejamannya menuliskan hasil refleksi mereka. Tapi yang jelas, dengan keterbatasan sarana, setiap butir-butir pemikiran itu pastilah tidak sembarangan. Di era modern ini, karya-karya itu amat mudah ditemukan dalam bentuk buku yang tercetak apik. Begitu mudahnya, hanya dengan pencet tombol mesin, ribuan ekseplar buku siap dibaca! Tapi saya sedikit tahu dengan cara menulis Bung Karno. Beberapa tulisan tangannya yang bergaya rangkai dan condong ke kanan, bisa ditemukan di beberapa pustaka. Lengkap dengan corat-coretnya mengoreksi bagian yang salah. Meskipun, saya yakin, Bung Karno sudah tidak menggunakan pena bulu ayam lagi, pena yang sebentar-sebentar harus dicelupkan ke tinta. Pasti Bung Karno menggunakan pena cair, yakni pena yang sudah memiliki kantong tinta di tubuhnya. Saya pernah membaca buku setebal bantal "Di Bawah Bendera Revolusi" yang banyak dicari-cari pada awal era reformasi itu. Ada tulisan tangan yang panjang dan lengkap ikut diterbitkan di sana. Mencermati tulisan tangan itu, sedikit bisa menyusuri cara kerja Bung Karno. Menulis buah pikirannya nyaris tanpa kendala, terlihat dari model tulisan yang rapi. Kemudian membaca ulang atau mengoreksi, menambahi, dan membuang bagian yang salah atau kurang tepat, tampak dalam coretan-coretan revisi. Barulah setelah yakin semua tanpa kekurangan, mungkin saatnya sang tukang ketik bertugas. Menyalin kembali tulis tangan itu agar tersaji dalam bentuk tercetak. Sebagai generasi kelahiran akhir era 70-an, saya masih merasakan masa jayanya mesin ketik. Karena kala itu, mesin ketiklah satu-satunya teknologi yang cukup terjangkau hingga ke kampung, maka saya terdorong untuk belajar menggunakannya. Sangat enjoy dan menyenangkan. Tulisan rapi dan terlihat berwibawa setelah sekian lama hanya bisa menulis ala ceker ayam di buku catatan. Cukup memasang beberapa kertas karbon, dan kopian ketikan yang sama persis ikut muncul begitu halaman demi halaman selesai dikerjakan. Bahkan hingga saya memulai perkuliahan pada tahun 1997, mesin ketik masih cukup banyak dipakai. Mahasiswa kalangan "the have" tentu saja sudah jauh-jauh hari meninggalkan mesin merisik tak tik tuk itu, dan menggantinya dengan perangkat komputer yang aduhay canggihnya. Jika saatnya mengumpulkan paper, alangkah mindernya. Paper hasil karya kawan-kawan begitu kinclong dengan cover cantik bervariasi huruf-huruf aneka bentuk, sementara paper saya hanya berhuruf kecil hasil ketikan mesin ketik. [caption id="attachment_115757" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi. Sumber: yuwidyanto23.blogspot.com"][/caption] Untuk mengerjakan sebuah paper 5 halaman saja pun, aku butuh waktu konsentrasi yang cukup panjang. Dimulai membuat kosep dengan tulisan tangan di kertas catatan, kemudian memperkayanya dengan beberapa pustaka, membaca buku rujukan, dan menuliskan kembali buah pikiran sendiri. Masih belum tuntas. Karena pekerjaan berikutnya adalah mengetikkan seluruh isi paper itu dengan mesin ketik, yang harus dikerjakan ekstra hati-hati agar tidak menabrak garis margin atau salah pencet huruf. Bukan karena iri dan merasa hebat, tapi belakangan saya ketahui dugaan-dugaan kecurangan mahasiswa yang mengumpulkan paper yang dikerjakan dengan komputer. Konon, sekali lagi konon, mereka hanya melakukan copy paste dari bahan-bahan yang mereka peroleh di internet! Hah? Itu sebab, saya masih mencoba bangga dengan paper hasil ketikan saya dengan masin ketik, karena saya merasa benar-benar berjuang keras untuk menyelesaikannya. Era Komputer, Era Kemanjaan Pernahkah kita mendengar adanya penulis karbitan di era pena bulu ayam, atau setidaknya di era mesin ketik? Kebetulan saya belum pernah dengar. Mungkin ada, tapi tak banyak terdengar. Tapi di era komputer, rasa-rasanya cukup banyak kita mendengar kemunculan penulis-penulis baru yang buku atau artikel mereka bertaburan di mana-mana. Apalagi setelah era komputer semakin dimapankan dengan menjamurnya berbagai jaringan sosial media, yang memungkinkan siapa saja menulis apa saja. Setiap bahan dengan amat mudah dicari melalui search engine, dan, jika masih jujur, cukup dijadikan bahan penunjang tulisan. Tapi jika curang, begitu mudahnya copy paste dan diklaim sebagai karya sendiri. Alangkah mudahnya penggunaan komputer, sehingga orang tidak perlu khawatir lagi dengan kesalahan teknis tetek bengek huruf bahkan struktur kalimat. Kan bisa diedit nanti jika ada waktu luang, karena filenya bisa dibuka kapan saja. Bayangkan pada era pena bulu ayam atau mesin ketik, bisakah pekerjaan itu dikoreksi sedemikian gampang? Salah ketik sedikit, bisa berarti harus mulai dari awal. Menulis yang terlalu lancar membuat kontrol kian kendur. Siapapun bisa menghujat dan berkata-kata kotor di jaringan mahaluas di dunia maya ini. Ini hanya sebuah renungan, dan setiap orang pasti punya pendapat sendiri. Jika ditanyakan pendapat saya, mungkin begini: menulislah dengan lancar di komputer anda, tetapi berfikirlah seakan anda masih menulis dengan pena bulu ayam! Mungkin prinsip ini masih bisa membuat kita tetap setia dengan kejujuran, dan menulis dengan mencurahkan segenap pikiran. SEVERIANUS ENDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun