Mohon tunggu...
Hanz Endi Pramana
Hanz Endi Pramana Mohon Tunggu... Freelancer - menulis seakan bagian dari masa lalu. akankan punah?

Lulusan Prodi Ilmu Komunikasi, Fisip, Atma Jaya Yogyakarta, mantan wartawan Tribun Pontianak (Kompas Gramedia), Kalimantan Barat. Mantan wartawan yang ingin tetap menulis. Email: endi.djenggoet@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Masih Rindu Kampung Halaman

19 Juli 2011   11:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:33 905
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_121603" align="alignleft" width="300" caption="Siap kembali ke kota setelah beberapa hari di kampung. Foto: Kakek Eya-Ebo"][/caption] HIDUP di belantara gedung-gedung bertingkat, bukanlah lagi hal yang aneh. Setidaknya jika yang dijadikan pembanding berupa kehidupan masyarakat pedalaman nun di masa lalu, pada masa-masa awal kemerdekaan, dengan masa kini yang merupakan buah era reformasi. Sudah begitu banyak putra-putri pedalaman yang akhirnya bisa merasakan pendidikan sebagaimana layaknya masyarakat perkotaan. Dan cukup banyak pula dari mereka yang karena perjuangan dan usahanya, berhasil mengubah kehidupan dari orang kampung menjadi orang kota. Tetapi saya berpikiran lain. Mengapa setiap saat selalu terasa rindu pada kampung halaman? Rindu pada kerimbunan hutan, kucuran air alam yang tak kunjung putus, tiupan angin segar, juga kicauan burung yang terbang lepas di sela-sela kanopi pepohonan. Apakah gedung pencakar langit metropolitan sudah tidak menarik lagi? Sepatu mengkilap dan pakaian rapi? Bekerja di kantor, bertemu orang-orang modern, yang jauh dari kesan "kotor-becek" karena pekerjaan di hutan? Saya sendiri pun sulit menjawabnya. Sebab, keinginan back to nature bukan perkara sepele. Akan banyak orang yang membelalakkan mata keheranan: mengapa setelah susah payah menempuh pendidikan di kota, mencoba bekerja di beberapa perusahaan modern, eeeh kok malah memilih pulang kampung? [caption id="attachment_120367" align="alignright" width="300" caption="Melihat kandang ayam di pekarangan belakang rumah."]

1311073919661312516
1311073919661312516
[/caption] Bukankah pulang kampung itu simbol kegagalan? Atau menyiratkan "kemunduran" alias anti kemapanan? Ah terserahlah! Rupa-rupanya, tak terlalu baik juga jika terlalu memperdulikan gunjingan orang lain. Rinduku pada alam dan hutan di kampung, mungkin pengobat segala masalah ini. Masalah sikut-menyikut di dunia perkotaan, persoalan intrik-intrik internal di kantor, atau sekadar emosi yang sering memuncak setiap saat. Pulang kampung, maka siaplah melarat, tanpa akses internet, tanpa meeting bisnis, tanpa derap modernisasi. Jelang pertengahan Juli 2011 lalu, aku berkesempatan pulang kampung di pedalaman Kalimantan Barat. Lumayan, aku bisa sedikit mengobati kerinduan akan hutan, alam, halaman atau pekarangan belakang yang penuh pohon buah-buahan, juga suasana kehidupan di kampung. Merasakan kembali ritme kehidupan yang unik. Belum tengah malam, suasana kampung sudah begitu sepi dan gelap. Bandingkan dengan derap kehidupan perkotaan yang seakan tidak pernah tidur. [caption id="attachment_120368" align="alignleft" width="300" caption="Keluargaku tampak dari pintu belakang dapur. "]
131107397862270326
131107397862270326
[/caption] Dan gelap di perkampungan membuat tidur menjadi nyenyak, beralas tikar pandan dan lantai papan. Segar dan sejuk yang mendamaikan. Dan pagi-pagi sekali, kokok ayam yang merdu terdengar di belakang rumah, membangunkan kami dari lelap. Air sungai kecil di belakang rumah masih sangat jernih, masih cukup terpelihara dan belum  tercemar oleh aktivitas liar penambangan emas tanpa izin di daerah perhuluan. Bambu masih lebat dan di sela-selanya masih tumbuh subuh rebung sebagai bahan sayuran. Juga pakis-pakis segar siap dipetik, dan jika beruntung, ikan-ikan sungai masih bisa tertangkap oleh pancing, pukat, atau bubu (perangkap ikan yang terbuat dari bambu). Tapi, memang semuanya sudah tidak alami lagi, karena kampungku sudah sebegitu tercemar oleh arus modernisasi. Orang-orang serakah melakukan penambangan emas liar di perhuluan sungai besar, sehingga airnya kini menjadi keruh. Tak hanya keruh, tapi kuat dugaan cairan mercury atau air raksa limbah tambang ikut mencemari. [caption id="attachment_120370" align="alignright" width="300" caption="Memanggang daging di pekarangan belakang. Cara tradisional memasak. "]
131107399970760697
131107399970760697
[/caption] Sedikit bersyukur, karena sungai kecil di belakang rumah masih relatif terjaga dan jernih airnya. Dan sejumlah hutan kecil masih bisa kukunjungi, untuk menikmati kerindangan pepohonan yang sanggup membuat suasana siang terasa bagai sore, saking rindangnya kanopi. Sebenarnya kampungku sudah tidak sepenuhnya tradisional lagi, namun ciri-ciri "pedalaman" masih senantiasa terasa. Ada kesan yang menyapa, ada kerinduan yang sedikit terobati. Tapi, benarkah, dan bisakah, aku sungguh-sungguh pulang kampung dan kembali menata kehidupan yang baru bersama segala kerinduan itu? Apakah anda tahu jawabannya? SEVERIANUS ENDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun