SAYA belum pernah bepergian ke Selandia Baru. Jangankan ke luar negeri, ke kota terdekat dari tempat tinggal saya saja jarang-jarang. Selain alasan ekonomi, juga alasan waktu yang—ternyata oh ternyata—amatlah sempit karena beban pekerjaan.
Tapi baiklah, saya sempat “berwisata” ke Selandia Baru meski hanya sekelumit, lewat tulisan wartawan cum fotografer senior Kompas, Arbain Rambey. Dia menuliskan pengalamannya mengunjungi sebuah kota bernama Queenstown di Selandia Baru pada akhir Februari 2011, yang dimuat di Harian Kompas, Minggu (13/3/11).
Hal yang menarik bagi saya adalah “latar” di balik geliat wisata alam di Selandia Baru. Di Kota Queenstown, wisata petualangan ternyata menjadi andalan. Potensi keindahan alam bahkan sudah tersuguhkan dengan cantiknya sejak dari jendela pesawat yang membawa wisatawan mendarat di kota itu.
Ada puncak gunung dengan salju abadi, fasilitas kereta gantung untuk mengembara dari satu puncak ke puncak lain, juga helikopter yang siap mengantarkan wisatawan menikmati berkah alam ini.
Apa yang spesifik? Ya, latar peristiwa yang berada di balik beberapa tempat. Arbain menuliskan, pada 1862 ditemukan kandungan emas amat banyak di tempat itu. Nah, kini bekas-bekas areal tambang itu masih ada, meski sudah tidak beroperasi lagi. Wisatawan bahkan bisa mengunjunginya sambil mencoba mendulang, dan jika beruntung, bisa menemukan butiran kecil emas!
Bayangkan, di masa kini orang masih bisa menemukan sisa sebuah “peradaban” yang masih aktual. Sebab, Kota Queenstown awalnya hanya berupa hamparan belantara yang kemudian berubah menjadi kota karena emasnya. Emas telah mengundang ribuan orang datang, lalu akhirnya menetap, dan menjadikan daerah itu sebuah kota yang baru.
Ini sejarah yang masih jelas meninggalkan tapak-tapaknya, dan di masa kini dimanfaatkan oleh kota tersebut sebagai andalan pemasukan melalui kemasan atau paket wisata petualangan.
Mau contoh yang lebih aktual? Beberapa dari Anda mungkin sudah menonton trilogi film “Lord of the Rings” yang dibuat pada awal tahun 2000-an. Wisatawan bisa melakukan napak tilas di lokasi pembuatan film tersebut, menggunakan kendaraan darat menyusuri daerah pedalaman di kawasan Queenstown.
Wow, latar bahwa film fenonomenal tersebut dibuat di daerah itu, telah menjadi daya tarik tersendiri. Apalagi seorang pemandu wisata mengaku pernah menjadi figuran dalam film terebut, semakin membuat cerita-cerita di baliknya kian berwarna.
Entahlah apakah sang sutradara yang memang orang Selandia Baru itu dulunya sempat berfikir, bahwa film yang dibuatnya memiliki daya ungkit mengangkat daerahnya menuju pentas dunia. Atau memang pembuatan film ini sengaja ditujukan untuk memperkenalkan wisata alam Queenstown ke jagad internasional? Entahlah.
Sunyi-senyap Wisata Kalimantan Barat
Setelah berlayar ke negeri Selandia Baru lewat tulisan Arbain Rambey, kini saatnya melihat realita di lingkunganku sendiri, Kota Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar). Di berbagai kesempatan sering disebutkan, wisata menjadi satu di antara potensi yang cukup menjanjikan. Sesering itu disebutkan, sesering itupula dilupakan.
Saya berani menyimpulkan demikian, karena sesungguhnya wisata apa yang menjadi andalan Kalbar belumlah jelas. Apakah sejumlah taman nasional yang sering disebut seperti Gunung Palung, Betung Kerihun, Danau Sentarum, dan beberapa nama lagi, bisa disebut kawasan wisata andalan? Kalau iya, kok tak pernah terdengar agen wisata yang menawarkan paket tersebut secara lengkap dengan rincian biaya, akomodasi, transportasi, serta tawaran-tawaran yang menyertainya?
Mungkin scope Kalbar terlalu luas. Mari lihat yang lebih kecil skala Kota Pontianak. Kota ini disebut-sebut berpotensi dengan wisata sungai. Saat saya masih sebagai wartawan, seorang pejabat di Pemkot Pontianak pernah menuturkan, potensi Sungai Kapuas bisa dikelola seperti Venesia. Pelaku usaha wisata bisa menawarkan paket-paket wisata naik perahu mengelilingi situs-situs bersejarah, melihat kehidupan tradisional, dan menikmati keindahan alam, yang semuanya dimiliki oleh Sungai Kapuas.
“Bagi kita di sini, orang mandi di sungai mungkin hal biasa. Tapi bagi orang bule, itu menjadi pemandangan unik. Itu bisa dijual dalam paket wisata,” ujar pejabat itu.
Apakah hanya itu kekayaan Kota Pontianak? Tidak! Tuhan begitu bermurah hati memberikan karunia yang tidak dimiliki negara lain, yakni fenomena alam berupa titik kulminasi matahari. Itu merupakan momen saat matahari berada tegak lurus dengan satu titik di Kota Pontianak, yang ditandai dengan Tugu Khatulistiwa, yang karenanya tak memunculkan bayangan apapun pada saat kulminasi terjadi.
Dalam setahun, fenomena alam yang unik itu hanya terjadi dua kali. Bukankah ini karunia yang luar biasa? Pun ternyata, tak ada yang mampu mengemasnya menjadi satu paket wisata yang benar-benar bisa menggebrak jagad wisata nasional. Selama ini hanya seremoni alakadarnya dan senantiasa berulang bagai rutinitas biasa, setiap kali momen ini terjadi.
Semua hanya memang tinggal wacana dan rencana. Tampaknya, kita memang ahli merencanakan, tapi belum ahli melaksanakan.
Pada 2010 lalu, diluncurkan semacam program yang dinamakan “Visit Kalbar Year”. Waktu berlalu, dan apakah memang saya yang kurang gaul, kok seperti tak ada gelegarnya ya? Atau apakah itu hanya semacam formalitas yang akhirnya tenggelam seiring berlalunya waktu?
Atau adakah di antara Anda yang memiliki “keresahan” yang sama seperti saya? Kalau iya, ada baiknya kita berbagi. (*)
SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H