[caption id="attachment_210309" align="alignleft" width="400" caption="Spanduk dengan muatan nasionalisme di Kecamatan Nanga Badau, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Foto: Severianus Endi"][/caption] SEJAUH mana rasa nasionalis kita diminta terus oleh negara? Pertanyaan usang ini tak akan laku dilontarkan di kota-kota besar, terlebih yang jauh dari batas negara atau border. Beranda negara yang terkesan terlupakan itu tenggelam dalam hiruk-pikuk metropolitan yang gemerlap. Tengah Februari 2012 lalu, saya bersama beberapa rekan wartawan dan blogger berkesempatan mengunjungi Kecamatan Nanga Badau di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Badau merupakan salah satu daerah yang berbatasan langsung dengan Sarawak Timur, Malaysia. Sebuah pemandangan segera menarik perhatian saya di Kota Badau, kota kecil yang lumayan ramai ini. Beberapa orang duduk di kursi panjang di depan sebuah warung. Menariknya, tempat orang-orang ini duduk, terpampang sebuah spanduk bertuliskan: "Jiwa Raga Kami Warga Perbatasan adalah untuk NKRI". Saya tak sempat mengeksplorasi lebih jauh, siapa yang membuat dan memasang spanduk itu. Apakah benar-benar muncul dari warga sendiri, atau sekadar untuk menyenangkan hati pejabat negara yang berkunjung. Masalah kehidupan di perbatasan sangat kompleks, mulai dari taraf hidup, pendidikan, sampai aspek keamanan. Khusus soal keamanan, ada statemen dari Panglima Komando Daerah Militer XII/Tanjungpura, yang disampaikan usai upacara hari ulangtahun ke-67 TNI, Jumat, 5 Oktober 2012, di Alun-Alun Kapuas, Kota Pontianak, Kalimantan barat. TNI akan menambah jumlah pos dan personel untuk memperkuat peenjagaan di batas negara. Jarak yang terbentang sepanjang 966 kilometer di perbatasan antara Provinsi Kalimantan Barat dengan Sarawak, Malaysia dari Tanjung Datuk di Kabupaten Sambas sampai Gunung Cemeru di Kabupaten Kapuas Hulu, hingga saat ini baru dijaga oleh 33 unit Pos Pengamanan Perbatasan (Pamtas). Panglima Komando daerah Militer XII/TPR Mayor Jenderal Ridwan, mengatakan, Pamtas yang semula berjumlah 33 unit, bakal diperbanyak menjadi 42 unit. Dengan demikian, akan ada 9 pos baru yang ditambah, sebagai langkah untuk peningkatan pengamanan kawasan perbatasan, di antaranya untuk meminimalisir tindakan ilegal. "Penambahan Pamtas sudah mulai dibangun, kemudian secara bertahap mulai difungsikan dengan penempatan personel TNI di sana. Dalam waktu dekat kami akan melakukan pergantian personel penjaga yang sebelumnya dari batalyon 305 diganti batalyon 123," ujar Ridwan. Ditambahkannya, dalam penjagaan kawasan yang berbatasan dengan Negeri Jiran itu, TNI Angkatan Darat dibantu oleh TNI Angkatan Udara dengan pengerahan pesawat tanpa awak. Selama ini, dari 33 Pamtas yang sudah ada, sebanyak tiga di antaranya berupa Pamtas Bersama. Satu unit Pamtas Bersama terletak di Entikong, Kabupaten Sanggau, kemudian dua unit lainnya di kawasan Sarawak Timur, yakni di Lubok Antu berbatasan dengan Kabupaten Kapuas Hulu dan di Biawak yang berbatasan Kabupaten Sambas. "Harapan kami, kehadiran petugas TNI di sepanjang perbatasan ini bisa menjaga masyarakat dan kedaulatan Negara Kesaturan Republik Indonesia dari ancaman musuh, baik musuh dari dalam maupun dari luar," kata Ridwan. Saya kemudian menghubungi Ketua Forum Peduli Masyarakat Perbatasan Kapuas Hulu, Sutomo Manna, untuk mendengarkan bagaimana pendapatnya terkait hal ini. Dia menilai, jumlah personel TNI yang berjaga di perbatasan yang sudah ada selama ini sebenarnya sudah terbilang cukup. Namun dia menyambut baik jika memang ada penambahan lagi. "Menurut saya, bukan sekadar jumlah personel penjaga yang ditambah, tetapi juga meningkatkan efektivitas keberadaan mereka di sana," ujar Sutomo. Dia mengingatkan, jangan sampai keberadaan para personel TNI itu justru terkesan menakut-nakuti rakyat. Oleh sebab itu, dia berharap adanya evaluasi untuk menilai sejauh mana para penjaga itu efektif menjalankan tugas mereka. "Kami yang sehari-hari hidup di kawasan perbatasan, merasakan betul bagaimana ritme sosial di batas negara. Tentu kami senang jika keamanan masyarakat perbatasan menjadi fokus perhatian. Tetapi jangan dilupakan perlunya evaluasi, sejauh mana mereka telah betul-betul mengayomi," kata Sutomo. Sutomo benar. Masalah di perbatasan negara, hanya bisa dipahami jika kita mau ikut merasakan ritme kehidupan di sana. Tak cukup sebuah kebijakan hanya dibuat jarak jauh, untuk sebuah daerah yang memiliki karakteristik sendiri. * Dalam bentuk yang sudah diedit, naskah ini dimuat di Harian The Jakarta Post, bisa dibaca di link ini. SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H