[caption id="attachment_212924" align="alignleft" width="500" caption="Kanopi alam di kilodua, kampungku. Ilustrasi saja. Foto: Severianus Endi"][/caption] TAK sengaja beberapa saat sebelum menjemput anak pulang sekolah, saya menyaksikan tayangan langsung di sebuah stasiun televisi. Rupa-rupanya Presiden SBY sedang berkunjunng ke Balikpapan, Kalimantan Timur, Rabu 24 Oktober 2012. "Delapan tahun yang lalu, dalam kapasitas sebagai presiden, saya telah berkunjung ke sini," ujar SBY. Saat itu, dia pernah mengatakan, jangan sampai Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur, menjadi the sleeping giant. Raksasa yang tidur. "Setelah delapan tahun kemudian, saya melihat, bukan saja Kalimantan ini tidak lagi tidur, tetapi sudah menggeliat," lanjut SBY. Satu hal lagi yang bagi saya cukup menarik. Menurut SBY, selama ini porsi program pembangunan lebih dominan di Pulau Jawa, mencapai sekitar 55 persen. Maka porsi itu akan diarahkan lebih besar ke pulau-pulau lain, seperti korodor Sumatera dan Koridor Kalimantan. Jadi, dua kata kunci: the sleeping giant, dan porsi pembangunan! Sebagai orang Kalimantan Barat, saya cukup tergugah. Pulauku sempat disebut the sleeping giant? Mungkin benar. Sebuah pulau yang besar, yang di dalamnya berisi negara Jiran Brunnai Darussalam dan Malaysia, serta empat provinsi Indonesia. Sebuah pulau dengan aneka kekayaan alam, tetapi tidur. Jika boleh sedikir berargumen, mungkin buka tidur. Tetapi ditidurkan. Semacam pembiusan sehingga giant yang besar ini terlelap. Mengapa ditidurkan? Barangkali supaya orang bebas menggerayangi pulau yang kaya potensi ini. Nah, ketika akhirnya sang raksasa ini terbangun, alamak, dia menemukan dirinya telanjang. Tanpa pakaian. Hutan-hutan yang telah ditebang sehingga menjadi gundul. Sungai-sungai yang mengering karena tersedot perkebunan skala besar milik segelintir taipan. Manusia-manusia penghuninya hijrah ke Negeri Jiran untuk menjadi pembantu, sebagian dihukum mati di sana, sebagian tak jelas nasibnya, sebagian bisa pulang kampung entah dengan kondisi mulai kaya atau sebaliknya kian melarat. Ada kalimat penghibur yang diucapkan SBY. Kini, the sleeping giant itu sudah terjaga, tak sekadar terjaga, tetapi sudah menggeliat-geliat! Menggeliat karena apa? Karena sudah sibuk membenahi diri, atau kelabakan menyadari kekayaan alamnya sudah digondol oleh pemilik modal? Lalu, soal porsi pembangunan. Rasa-rasanya sudah sejak jaman purba, porsi pembangunan ini memang timpang. Pulau Jawa jelas menerima porsi lebih besar, meski banyak daerah ikut iuran dengan menyerahkan hasil alamnya sesuai peraturan yang sudah digariskan. Berapa yang kembali ke daerah untuk membangun dirinya sendiri? Entah. Harap maklum, pusat pemerintahan negara memang ada di Pulau Jawa. Oleh karena itu, pemerintah merasa harus memoles "wajah" negeri ini, supaya tidak malu-maluin dalam pergaulan internasional. Sementara beranda belakang, seperti area perbatasan Indonesia-Malaysia di pedalaman Kalimantan, terkesan diabaikan. Beranda depan atau beranda belakang? SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H