[caption id="" align="alignleft" width="320" caption="Inilah feri ala kampung, di ujung Dusun Riam Bunut. SEVERIANUS ENDI"][/caption]
KAMI sekeluarga baru saja kembali dari kampung halaman di Desa Sungai Daka, Kecamatan Sungai Laur, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Sebenarnya jalan dari Pontianak ke kampung sudah sempurna, aspal mulus yang kokoh menghampar hitam.
Jarak yang terbentang dari Kota Pontianak, ibu kota Provinsi Kalimantan Barat ke kampong itu hampir 200 kilometer. Sesampainya di Desa Aur Kuning, ibu kota Kecamatan Sungai Laur, kami masih harus menempuh jalan tanah yang becek di musim hujan dan berdebu di musim panas sekitar 4 kilometer lagi. Kali ini hujan cukup banyak turun.
Daerah yang cukup rendah adalah kawasan Dusun Riam Bunut, yang letaknya di antara Aur Kuning dengan kampung saya, Sungai Daka. Otomatis jalan penghubung harus melewati Riam Bunut.
Kampung Riam Bunut memanjang di pinggir sungai yang sedang penuh airnya, bahkan sampai melimpah. Permukaan jalan sebagian besar masih rendah, ada bagian yang tergenang air cukup dalam.
Sepeda motor hampir tidak bisa lewat saat hendak pulang ke Pontianak, 5 Maret lalu. Dalam situasi begini, syukurlah ada warga Riam Bunut yang mempersiapkan rakit.
Inilah feri penyeberangan ala kampung. Terbuat dari susunan balok-baok kayu menghasilkan rakit dengan ukuran sekitar dua kali empat meter, cukup untuk menampung sebuah sepeda motor dan satu-dua orang.
Ada dua titik dalam, yakni di pertengahan Dusun Riam Bunut dan di ujung dusun, arah menuju ke Sungai Daka. Artinya, dua kali pengendara sepeda motor harus menyewa feri ala kampung itu agar kendaraannya bisa lewat.
Pak Nana, karena nama anak pertanyanya Nana, menjadi salah satu warga yang siap membantu penyeberangan dengan rakit. Dia bilang, usia rakit yang dijalankannya sudah bertahun-tahun, sehingga beberapa balok mulai buruk.
"Di sini aneh. Kalau Desember justru kering, tapi bulan-bulan sekarang hujan sampai pasang," kata Pak Nana yang hanya mengenakan cawat, mengarungi banjir sambil mendorong rakit yang berisi sepeda motor bersama pengendaranya.
Sekali menyeberang harus bayar ongkos Rp 5.000. Tapi mendinganlah, daripada memaksa menyeberang tanpa rakit, berakibat motor kemasukan air dan tidak bisa menyala. Mungkin ini bisa dibilang wisata ala kampung, sambil melepas rindu bersama keluarga juga main-main air.
SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H