[caption id="attachment_159885" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi: Jessica Alba memerankan wanita Dayak dalam film Sleeping Dictionary. Sumber: google.co.id"][/caption] ZAMAN dahulu, rumah orang Dayak berupa konstruksi rumah panjang atau rumah betang atau long house. Untuk menaikinya, perlu meniti tangga yang dibuat dari sebatang kayu, biasanya kayu ulin, yang dibuat undakan dengan menggunakan kapak, beliung, atau alat tajam lainnya. Beliung adalah sejenis kapak dengan mata lebih kecil dan gagang sebesar ibu jari, sehingga ketika diayunkan, ada tenaga tambahan karena lenturnya gagang. Tangga kayu berundak itu memiliki panjang di atas tiga meter, disandarkan dalam kemiringan di atas 60 derajat. Orang harus menaiki tangga itu sambil berpegang pada pengaman di masing-masing sisi. Di sebagian rumah panjang, tangga itu bahkan tanpa pengaman. Bisa dibayangkan orang kota yang ketakutan dan gemetaran menaikinya! Konstruksi Bangunan dan Tata Krama Apa kaitannya konstruksi bangunan kuno itu dengan etika pergaulan masyarakat Dayak? Ini berkenaan dengan pranata yang sehari-hari dianut masyarakat, yang jika dilihat sepintas menunjukan juang yang terjal antara masyarakat pedalaman dengan masyarakat perkotaan. Orang Dayak tidak mungkin mengetuk pintu rumah, jika ingin menyapa sang tuan rumah. Bukan karena ketukan itu yang barangkali tidak akan terdengar keras. Maklum, daun pintu bukan dibuat dengan papan yang keras dan menimbulkan suara ketukan. Melainkan dari sejenis kulit kayu yang diolah secara tradisional menjadi lembaran-lembaran penyusun daun pintu maupun sebagai dinding. Suara ketukan macam apa yang bisa muncul dari kertukan buku jari pada kulit kayu? Namun, bukan berarti orang Dayak yang hidup pada masa rumah panjang tidak mengenal sopan santun. Mereka juga tidak asal slonong boy masuk ke rumah. Bilamana mereka hendak bertamu atau perlu berkunjung ke suatu bilik di rumah betang, atau pun rumah biasa (sebab selain di rumah betang, warga Dayak juga ada yang membangun rumah terpisah), mereka melihat tanda-tanda atau simbol di sekitar rumah. Pintu tertutup belum tentu menandakan sang tuan rumah tidak berada di tempat. Tak cukup tanda pintu tertutup, tamu akan mengamati tangga, yang terbuat dari kayu gelondongan dan diberi undakan sebagai anak tangga. Jika tangga itu dipasang terbalik, artinya bagian yang berundak-undak itu dihadapkan ke belakang, artinya sang empunya rumah tidak sedang berada di tempat. Bagaimana jika pintu tertutup, sementara tangga terpasang seperti biasa? Artinya sang tuan rumah ada di tempat. Tamu mungkin tidak akan mengetuk pintu yang terbuat dari lembaran kulit kayu. Tetapi, seperti umumnya terjadi, akan menyapa tuan rumah dengan beberapa kalimat yang umum. Saya berasal dari rumpun Dayak Kualatn (huruf tn ditulis sesuai pronounsation dalam bahasa ibu saya), di pedalaman Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Berikut kalimat yang sering diucapkan untuk menyapa sang empunya rumah: "Ooo (menyebut nama tuan rumah), modum mai?" Ooo si anu, apakah anda ada di rumah? "Ooo kenak, odeh di rumah mai?" Ooo saudara (tidak menyebut nama), kalian sedang di rumah tidak? Dalam bahasa Inggris, bukan hal asing adanya sapaan: "Anybody home?" Mungkin di sini letak kesamaannya. Soal penyebutan nama, berlaku pranata sopan santun untuk tidak menyebut langsung nama seseorang yang usianya atau susur galurnya menunjukkan posisi yang lebih tua atau tinggi. Misal kepada orang yang lebih tua, referensinya adalah siapa nama anak dari orang tersebut. Jika si Anu memiliki anak pertama bernama Ani, maka panggilan kepada ayahnya adalah "Pak Ani" yang berarti "Ayah Ani", kepada sang ibu dipanggil "Nok Ani", yang berarti "Ibu Ani". Selain itu, untuk orang yang sudah menyandang predikat kakek-nenek, referensi sapaan merujuk pada cucu tertua. Jika si Anu sudah punya cucu bernama Ana, maka sapaannya "Kek Ana", artinya "Kakek Ana", dan untuk istrinya "Nek Ana", artinya "Nenek Ana". Maka sapaan jika hendak bertamu menjadi begini: "Ooo Pak Ani, modum mai?" Ooo Pak Ani, anda sedang berada di rumah? "Ooo Kek Ana, modum mai?" Ooo Kakek Ana, apakah sedang ada di rumah? Berteriak-teriak memanggil sang empunya rumah, apakah tindakan tidak sopan? Tentu tidak! Itulah cara masyarakat Dayak beradaptasi dengan kondisi kehidupan pada masa itu. Rumah dengan daun pintu yang tidak bisa diketuk, sementara teknologi bel elektronik masih nun jauh di depan. Mengucapkan Terima Kasih Ucapan "mak kaseh bah" sebagai terjemahan harafiah dari "terima kasih" bukan hal asing dalam percakapan sehari-hari dalam komunitas orang Dayak. Tetapi ada ucapan yang lebih halus, meski tatabahasa Dayak Kualatn tidak mengenal strata seperti kromo inggil dan ngoko di Jawa. Jika seseorang menerima pemberian, atau usai meminta sesuatu, beberapa ucapan bisa dipahami sebagai ekspresi terima kasih. "Tiak mugat nam deh." "Mpah ngan onya nam toh." Sulit menemukan padanan harafiahnya dalam bahasa Indonesia. Kalimat "Tiak mugat nam deh" biasa diucapkan setelah seseorang menerima sesuatu dari orang lain. Mungkin bisa diartikan sebagai: "Wah, barang ini saya ambil saja nih, dan saya tidak mampu menukarnya dengan barang lain." Kalimat "mpah ngan onya nam toh", biasanya diucapkan seseorang membayar hutang atau melunasi pinjaman uang. Kalimat itu bisa dipahami sebagai: "Wah seperti dengan orang yang tak saling mengenal saja nih, pake bayar-bayar segala." Maksudnya, jika bertransaksi dengan orang yang tidak dikenal, mungkin bisa dengan nyaman saja menerima uang itu, meskipun uang itu sudah menjadi haknya. Tetapi karena transaksi dengan orang yang sudah kenal, akrab, bahkan keluarga, ada rasa tidak enak jika tidak mengucapkannya. SEVERIANUS ENDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H